Kamis, 14 Januari 2010

guru dan kemerdekaan mengajar

endidikan nasional hingga kini; tetap saja masih berkualitas rendah. Ini diindikasikan dari banyaknya guru yang tak layak mengajar. Bukan itu saja, mereka bahkan bernasib kurang "mujur" lagi, terkait gaji yang masih rendah. Berkutat tak jauh dari itu, mahalnya biaya pendidikan di negeri berpenghuni 210 juta jiwa ini menjadi "pengalaman terburuk" lain bagi noda hitam dunia pendidikan.

Dari beragam keterjanggalan itu; budaya Korupsi, Kolusi, Nepotisme (KKN) dalam kebirokrasian pendidikan nasional tetap saja menjadi tamparan jebloknya track record departemen yang dikomandoi oleh Mendiknas-Bambang Sudibyo itu. Tak banyak kemajuan yang dapat dicapai dalam dunia pendidikan tahun ini. Hanya satu yang pantas dibanggakan bersama yaitu, prestasi sejumlah siswa yang berhasil menjuarai beragam kompetisi tingkat internasional (olimpiade fisika, matematika dan sains dll).

Dengan bercermin dari "hitam-putih" wajah pendidikan nasional kita, yang pantas dilakukan sekarang yaitu melakukan perombakan total sistem pendidikan nasional (Sisdiknas). Terlebih menyinggung masalah kemerdekaan pihak guru dalam Proses Belajar Mengajar (PBM). Adanya kurikulum nasional yang hanya "mendekte" pola ajar guru, hingga tak memiliki kewenangan sedikit pun guna mengembangkan keintelektualan dan kreativitasnya dalam PBM, dapat berakibat pada kestagnasian progress report atas output pendidikan sendiri. Yaitu, mutu lulusan para peserta didik yang diragukan kapasitas intelektual maupun moralitasnya. Salah satu kasus, banyaknya peserta didik yang tak lulus Ujian Nasional (UN) pada tahun lalu, dan tahun ini tampaknya juga bakal meningkat tajam, merupakan kenyataan klasik yang langsung menunjuki keburukan kualitas pendidikan.

Warisan sistem pendidikan yang ditinggalkan kaum penjajah (Belanda dan Jepang) pada bangsa ini, memang merupakan pengalaman sejarah terdilematis yang cukup menyakitkan. Dalam usianya yang keenam puluh satu tahun, nasib bangsa ini tidak serta merta terlepas dari jerat penjajahan. Untuk mengubah "peta" buruk nasib pendidikan nasional; tak hanya cukup bisa mengandalkan mekanisme kebijaksanaan yang ditempuh pemerintah berkuasa. Apalagi hanya berharap akan datangnya "mukjizat" dari langit, pastilah mustahil. Guru sebagai ujung tombak bagi perbaikan mutu arah mata bandrol pendidikan, perlu melakukan terobosan progresif dengan menginisiatifi gerakan pada "kemerdekaan dalam mengajar".

Yang penulis maksud dengan terminologi gerakan "kemerdekaan dalam mengajar" adalah dengan memberikan kebebasan seluas-luasnya pada para guru guna mengembangkan kurikulum yang ditekuni sendiri.

Pihak sekolah melalui hak privasi masing-masing guru memiliki otoritas penuh-paling tinggi dalam menentukan apakah seorang siswa dapat dikatakan lulus atau tidak. Bukannya seperti sekarang ini, yang masih terdekte dari puncuk pimpinan tertinggi. Sedang seperti diketahui bersama, para pejabat tinggi (dalam departemen pendidikan nasional) sebagian besar terdiri atas insan yang bukan berlatar belakang dari dunia pendidikan. Bagaimana mungkin, personal yang tak memiliki basis pendidik dapat memahami secara riil permasalahan mendasar yang dihadapi para guru di lapangan. Sedang mereka "berasyik masyuk" melakukan megaproyek pada pengkapitalisasian dunia pendidikan.

Contoh paling mutakhir adalah adanya pemahalan seluruh biaya pendidikan dari bangku SD hingga PT, saat ini. Bukankah hal itu menjadi representasi bentuk penjajahan paling nyata? Bersinggungan dengan minimnya dana APBN yang dialokasikan guna pembiayaan pendidikan nasional yang besarnya tak lebih dari sepuluh persen; satu sisi menjadi "ganjalan" tersulit bagi terealisasinya pendidikan murah di negeri ini. Krisis perekonomian sejak awal tahun 1998, hingga menyebabkan kolapsnya denyut nadi hampir seluruh sektor kehidupan berbangsa dan bernegara-termasuk punahnya beragam usaha kecil menengah-hingga kini masih meninggalkan residu negatif yang jauh dari harapan. Publik berharap adanya perbaikan internal dari pihak guru sendiri, kualitas pendidikan di negeri sarat religius ini-dapat merangkak tahap demi tahap menuju perbaikan yang bermakna.

Kerinduan publik akan hadirnya pendidikan yang mencerdaskan-bukannya pendidikan yang menjajah baik secara intelektual maupun moral; semoga dapat segera terjawab.

sumber : http://www.kabarindonesia.com/berita.php?pil=13&dn=20070423090555

Tidak ada komentar:

Posting Komentar