Kamis, 14 Januari 2010

perang indonesia dan malaysia

Pada 1961, Kalimantan dibagi menjadi empat administrasi. Kalimantan, sebuah provinsi di Indonesia, terletak di selatan Kalimantan. Di utara adalah Kerajaan Brunei dan dua koloni Inggris; Sarawak dan Britania Borneo Utara, kemudian dinamakan Sabah. Sebagai bagian dari penarikannya dari koloninya di Asia Tenggara, Inggris mencoba menggabungkan koloninya di Kalimantan dengan Semenanjung Malaya untuk membentuk Malaysia.

Rencana ini ditentang oleh Pemerintahan Indonesia; Presiden Soekarno berpendapat bahwa Malaysia hanya sebuah boneka Inggris, dan konsolidasi Malaysia hanya akan menambah kontrol Inggris di kawasan ini, sehingga mengancam kemerdekaan Indonesia. Filipina juga membuat klaim atas Sabah, dengan alasan daerah itu memiliki hubungan sejarah dengan Filipina melalui Kesultanan Sulu.

Di Brunei, Tentara Nasional Kalimantan Utara (TNKU) memberontak pada 8 Desember 1962. Mereka mencoba menangkap Sultan Brunei, ladang minyak dan sandera orang Eropa. Sultan lolos dan meminta pertolongan Inggris. Dia menerima pasukan Inggris dan Gurkha dari Singapura. Pada 16 Desember, Komando Timur Jauh Inggris (British Far Eastern Command) mengklaim bahwa seluruh pusat pemberontakan utama telah diatasi, dan pada 17 April 1963, pemimpin pemberontakan ditangkap dan pemberontakan berakhir.

Filipina dan Indonesia resminya setuju untuk menerima pembentukan Malaysia apabila mayoritas di daerah yang ribut memilihnya dalam sebuah referendum yang diorganisasi oleh PBB. Tetapi, pada 16 September, sebelum hasil dari pemilihan dilaporkan. Malaysia melihat pembentukan federasi ini sebagai masalah dalam negeri, tanpa tempat untuk turut campur orang luar, tetapi pemimpin Indonesia melihat hal ini sebagai perjanjian yang dilanggar dan sebagai bukti imperialisme Inggris.
“ Sejak demonstrasi anti-Indonesia di Kuala Lumpur, ketika para demonstran menyerbu gedung KBRI, merobek-robek foto Soekarno, membawa lambang negara Garuda Pancasila ke hadapan Tunku Abdul Rahman—Perdana Menteri Malaysia saat itu—dan memaksanya untuk menginjak Garuda, amarah Soekarno terhadap Malaysia pun meledak. ”

Soekarno yang murka karena hal itu mengutuk tindakan Tunku yang menginjak-injak lambang negara Indonesia[1] dan ingin melakukan balas dendam dengan melancarkan gerakan yang terkenal dengan nama Ganyang Malaysia.

Perang

Pada 20 Januari 1963, Menteri Luar Negeri Indonesia Soebandrio mengumumkan bahwa Indonesia mengambil sikap bermusuhan terhadap Malaysia. Pada 12 April, sukarelawan Indonesia (sepertinya pasukan militer tidak resmi) mulai memasuki Sarawak dan Sabah untuk menyebar propaganda dan melaksanakan penyerangan dan sabotase. Pada 27 Juli, Sukarno mengumumkan bahwa dia akan meng-"ganyang Malaysia". Pada 16 Agustus, pasukan dari Rejimen Askar Melayu DiRaja berhadapan dengan lima puluh gerilyawan Indonesia.

Meskipun Filipina tidak turut serta dalam perang, mereka memutuskan hubungan diplomatik dengan Malaysia.

Federasi Malaysia resmi dibentuk pada 16 September 1963. Brunei menolak bergabung dan Singapura keluar di kemudian hari.

Ketegangan berkembang di kedua belah pihak Selat Malaka. Dua hari kemudian para kerusuhan membakar kedutaan Britania di Jakarta. Beberapa ratus perusuh merebut kedutaan Singapura di Jakarta dan juga rumah diplomat Singapura. Di Malaysia, agen Indonesia ditangkap dan massa menyerang kedutaan Indonesia di Kuala Lumpur.

Di sepanjang perbatasan di Kalimantan, terjadi peperangan perbatasan; pasukan Indonesia dan pasukan tak resminya mencoba menduduki Sarawak dan Sabah, dengan tanpa hasil.

Pada 1964 pasukan Indonesia mulai menyerang wilayah di Semenanjung Malaya. Di bulan Agustus, enam belas agen bersenjata Indonesia ditangkap di Johor. Aktivitas Angkatan Bersenjata Indonesia di perbatasan juga meningkat. Tentera Laut DiRaja Malaysia mengerahkan pasukannya untuk mempertahankan Malaysia. Tentera Malaysia hanya sedikit saja yang diturunkan dan harus bergantung pada pos perbatasan dan pengawasan unit komando. Misi utama mereka adalah untuk mencegah masuknya pasukan Indonesia ke Malaysia. Sebagian besar pihak yang terlibat konflik senjata dengan Indonesia adalah Inggris dan Australia, terutama pasukan khusus mereka yaitu Special Air Service(SAS). Tercatat sekitar 2000 pasukan khusus Indonesia (Kopassus) tewas dan 200 pasukan khusus Inggris/Australia (SAS) juga tewas setelah bertempur di belantara kalimantan (Majalah Angkasa Edisi 2006).

Pada 17 Agustus pasukan terjun payung mendarat di pantai barat daya Johor dan mencoba membentuk pasukan gerilya. Pada 2 September 1964 pasukan terjun payung didaratkan di Labis, Johor. Pada 29 Oktober, 52 tentara mendarat di Pontian di perbatasan Johor-Malaka dan ditangkap oleh pasukan Resimen Askar Melayu DiRaja dan Selandia Baru dan bakinya ditangkap oleh Pasukan Gerak Umum Kepolisian Kerajaan Malaysia di Batu 20, Muar, Johor.

Ketika PBB menerima Malaysia sebagai anggota tidak tetap. Sukarno menarik Indonesia dari PBB pada tanggal 20 Januari 1965 dan mencoba membentuk Konferensi Kekuatan Baru (Conference of New Emerging Forces, Conefo) sebagai alternatif.

Sebagai tandingan Olimpiade, Soekarno bahkan menyelenggarakan GANEFO (Games of the New Emerging Forces) yang diselenggarakan di Senayan, Jakarta pada 10-22 November 1963. Pesta olahraga ini diikuti oleh 2.250 atlet dari 48 negara di Asia, Afrika, Eropa dan Amerika Selatan, serta diliput sekitar 500 wartawan asing.

Pada Januari 1965, Australia setuju untuk mengirimkan pasukan ke Kalimantan setelah menerima banyak permintaan dari Malaysia. Pasukan Australia menurunkan 3 Resimen Kerajaan Australia dan Resimen Australian Special Air Service. Ada sekitar empat belas ribu pasukan Inggris dan Persemakmuran di Australia pada saat itu. Secara resmi, pasukan Inggris dan Australia tidak dapat mengikuti penyerang melalu perbatasan Indonesia. Tetapi, unit seperti Special Air Service, baik Inggris maupun Australia, masuk secara rahasia (lihat Operasi Claret). Australia mengakui penerobosan ini pada 1996.

Pada pertengahan 1965, Indonesia mulai menggunakan pasukan resminya. Pada 28 Juni, mereka menyeberangi perbatasan masuk ke timur Pulau Sebatik dekat Tawau, Sabah dan berhadapan dengan Resimen Askar Melayu Di Raja dan Kepolisian North Borneo Armed Constabulary.

Akhir konfrontasi

Menjelang akhir 1965, Jendral Soeharto memegang kekuasaan di Indonesia setelah berlangsungnya kudeta. Oleh karena konflik domestik ini, keinginan Indonesia untuk meneruskan perang dengan Malaysia menjadi berkurang dan peperangan pun mereda.

Pada 28 Mei 1966 di sebuah konferensi di Bangkok, Kerajaan Malaysia dan pemerintah Indonesia mengumumkan penyelesaian konflik. Kekerasan berakhir bulan Juni, dan perjanjian perdamaian ditandatangani pada 11 Agustus dan diresmikan dua hari kemudian.

sumber : http://www.kaskus.us/showthread.php?t=1351131

konflik indonesia dan malaysia

ejolak moneter pertengahan 1997 menimbulkan kesulitan yang sangat besar terhadap perekonomian nasional terutam kemampuan dunia usaha dalam mengembangkan usahanya, terutama kemampuan dalam rangka untuk memenuhi kewajiban pembayaran mereka kepada para kreditur. Keadaan yang sifatnya berantai dan tidak dapat diselesaikan akan menimbulkan dampak yang lebih luas. Penyelesaian masalah utang haruslah dilakukan secara cepat dan efektif.

Oleh karena, Fv disempurnakan lagi dengan Perpu Nomor 1 Tahun 1998 dan ditetapkan menjadi UU Nomor 4 tahun 1998 yang prinsipnya adalah tambal sulam dari Peraturan Kepailitan (Fv) dan direvisi lagi menjadi UU Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU.

Peraturan terbaru ini mempunyai cakupan yang lebih baik dan luas dari segi norma, ruang lingkup materi, maupun proses penyelesaian utang piutang. Karena adanya perkembangan dan kebutuhan hukum dalam masyarakat sedangkan ketentuan yang selama ini berlaku belum memadai sebagai sarana hukum untuk menyelesaikan masalah utang-utang secara adil, cepat, terbuka dan efektif.

2. Lahirnya UU Arbitrase

Secara hukum perkembangan arbitrase dengan mengacu kepada Aturan Peralihan Pasal II UUD 1945 yang memberikan konswekuensi berlakunya Rv menjadi peraturan arbitrase nasional di awal kemerdekaan. Sedangkan Rv sendiri sudah berlaku sejak satu abad yang lalu.

Baik pada masa Rv dan Aturan Peralihan masih belum Nampak penerapan arbitrase sehingga tidak dapat diajukan data tentang yurisprudensinya. Bahkan pembentuk undang-undang sendiri tampaknya masih belum memiliki visi yang tegas mengenai arbitrase atau ADR.

Pada tanggal 3 Desember 1997 berdiri Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI), akan tetapi tentang arbitrase memerlukan waktu yang lebih lama lagi bagi dunia peradilan umum sendiri karena terbukti bahwa mereka juga menerima pemeriksaan terhadap suatu perkara yang memuat klausul arbitrase yang seharusnya menyatakan tidak berwenang.

Munculnya Keppres Nomor 34 Tahun 1981 yang meratifikasi Konvensi New York 1958 yang inti utamanya adalah putusan arbitrase asing di Indonesia adalah pengakuan dan pelaksanaan. Maka dibentuk Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS) yang berlaku pada tanggal 12 Agustus 1999.

3. Dualisme Pengaturan Penyelesaian Pailit dan Arbitrase di Indonesia

Adanya dualisme penyelesaian sengketa secara litigasi dan non litigasi juga berdampak pada perkara kepailitan, karena sifatnya masih mencakup dalam wilayah hukum dagang dan perdata. Hal ini yang memberikan konflik kewenangan yang sama-sama mengatur mekanisme penyelesaian. Hal inilah yang menjadikan tarik ulur penyelesaiannya dalam ranah hukum arbitrase atau kepailitan.

Hal ini menjadikan dualisme sengketa akan menyulitkan dalam penyelesaiannya, maka perlu segera ada solusi agar tidak berlarut-larut dan demi untuk menciptakan keadilan dan kepastian hukum bagi masyarakat.

sumber : http://gagasanhukum.wordpress.com/2009/12/03/resolusi-konflik-dualisme-hukum-kepailitan-dan-a

konflik indonesia dan malaysia

Sekilas memang, seolah-olah konflik yang timbul lebih disebabkan karena kesalahan di antara keduanya dalam membangun dan membina hubungan diplomatik yang konstruktif. Namun jika ditinjau secara lebih komprehensif, muncul dugaan bahwa ada upaya sistematis dan teroganisir untuk menghadapkan kedua negara pada situasi konflik.

Menariknya, perkembangan konflik kedua negara, sedikit banyak disebabkan karena perilaku aktor non-negara (non state actor). Di luar masalah Sipadan-Ligitan, akar masalah konflik seperti Ambalat, pelecehan produk budaya, penghinaan tenaga kerja Indonesia, bahkan sampai dengan pemicu terakhir yakni pelecehan lagu kebangsaan kedua negara merupakan sulutan yang datang dari aktor privat.

Maka, menarik kemudian mempertanyakan secara kritis, mengapa sumber masalah seolah datang silih berganti yang masing-masing mampu memberikan provokasi kepada publik? Kemudian, mengapa sumber isu konflik diarahkan pada upaya konflik terbuka yang melibatkan dua bangsa serumpun?

Lebih dari itu, siapakah aktor yang sesungguhnya berada di balik konflik kedua negara? Atau dengan kata lain, siapa sebenarnya yang lebih berkepentingan dari konflik antara Indonesia-Malaysia? Dan, untuk apa pemicu konflik ini terus ‘dipelihara’ dan ditebarkan setiap saat?

Aneka pertanyaan di atas tentu saja harus dijawab secara jernih dan bertanggung jawab. Ketika kasus pengeboman dan tindakan serta serangan terorisme menghantui Indonesia yang didalangi oleh ‘putra’ Malaysia, Noordin M Top misalnya, banyak pihak mensinyalir bahwa Malaysia terlibat di dalamnya.

Hal ini diperkuat dengan analisis bahwa Indonesia mesti terus diguncang dengan teror dan ancaman, agar tercipta image atau kesan bahwa negara ini memang tidak aman untuk dikunjungi, berinvestasi, apalagi berwisata. Dengan demikian, Malaysia mendapatkan keuntungan politik dan ekonomi dari buruknya situasi di Indonesia.

Lebih dari itu, dugaan Noordin dilindungi oleh ‘negara’ begitu kuat adanya, mengingat sulitnya gembong teroris ini ditangkap. Analisis lainnya, dalam situasi ekonomi dunia seperti saat ini (resesi), Indonesia satu-satunya negara di kawasan ini yang mencatat pertumbuhan positif, sementara Malaysia membukukan pertumbuhan ekonomi negatif.

Mengalihkan perhatian dunia kepada Malaysia salah satunya dapat dilakukan dengan mendeskreditkan negara tetangganya, Indonesia, dalam kancah internasional. Poin dan pandangan di atas tentu saja bagian dari analisis pertama dalam upaya menjawab akar konflik kedua bangsa serumpun.

Poin berikutnya adalah boleh jadi konflik kedua negara turut didesain dan dinikmati oleh negara ketiga. Dalam bahasa sederhana, ada penunggang gratis (free rider) dari konflik ini. Pertanyaannya adalah siapakah aktor atau pelaku yang dimaksud? Mungkinkah aktor negara berada di balik semua ini? Mungkinkah Singapura misalnya terlibat?

Sebagaimana diketahui, posisi Singapura tepat berada di antara Indonesia dan Malaysia. Selama ini Singapura sangat menikmati posisi, kebaikan, sikap ‘manut’ dan bersahabat yang ditunjukkan Indonesia dan Malaysia. Singapura telah menjadi jembatan emas di antara kedua bangsa serumpun di mata dunia internasional.

Singapura juga ’surga’ bagi para penjahat, termasuk koruptor, dalam hal ini para pengusaha pengemplang utang asal Indonesia dan Malaysia. Dan yang paling penting, Singapura merupakan kepanjangan tangan (negara satelit)bagi kepentingan Barat (Amerika dan sekutunya, termasuk Israel) di Asia Timur.

Dapat dipahami bahwa, konflik antara Indonesia dan Malaysia akan sangat menguntungkan posisi Singapura sebagai jembatan di Asia Tenggara. Pendekatan dalam politik internasional menjelaskan bahwa salah satu cara dalam menguasai suatu kawasan adalah dengan menempatkan negara satelit.

Teori ini berlaku efektif bagi Amerika, dengan menjadikan Israel sebagai negara satelitnya di Timur Tengah, atau kedigdayaan Uni Soviet pasca Perang Dunia Kedua terlihat jelas dengan menjadikan Polandia sebagai negara satelitnya untuk menguasai Eropa.

Kini, saat konflik terus membesar yang mengarah kepada konflik terbuka antarmasyarakat dalam bangsa serumpun, patut untuk kita mawas diri dan mewaspadai potensi perang terbuka. Identifikasi dipraktikkannya ‘psy war’ oleh privat ataupun ’state actor’ harus dilihat sebagai upaya untuk menggoyahkan kawasan (region) secara umum, dan khususnya konflik terbuka dua negara sekandung.

sumber : http://umum.kompasiana.com/2009/09/02/siapa-menunggangi-konflik-indonesia-malaysia/

malaysia dan indonesia perang blogger

Indonesia dan malaysia,merupakan negara serumpun yang merasa seketurunan dari pada bangsa melayu,merasa memiliki banyak persamaan antara bahasa agama dan budaya.Namun selalu memiliki perselisihan.Bahkan dibanding dengan tetangga negara yang lain (seperti brunei darussalam dan singapura).Namun hanya dengan malaysialah negara kita sering memanas,bahkan segala sesuatu yang tercetus antara indonesia dan malaysia.Selalu timbul sebuah kata yaitu PERANG.
Memang dari kacamata rakyat indonesia.Malaysia merupakan negara yang paling usil dibanding tetangga kita yang lain.Bukan hanya kawasan yang selalu jadi pergolakan.Namun juga masalah budaya.
rakyat indonesia juga tergolong mempunyai semangat patriotisme yang kuat.Jadi setiap terjadi konflik kata PERANG atau GANYANG MALAYSIA selalu yang tercetus dari lapisan masyarakat.Hampir semua orang berpendapat.Kekuatan malaysia tidak seberapa dibanding indonesia.Dan dalam hitungan menit malaysia pasti sudah hancur jika melawan indonesia.Namun sepertinya saya punya pemikiran lain,jika malaysia dan indonesia perang.Tidak akan ada kemenangan,kecuali kehancuran di ke dua belah pihak
bukan saya tidak punya semangat patriotik.. Namun coba kita perhatikan secara tenang dan seksama.Berapa juta nyawa rakyat indonesia di malaysia???
.Berapa juta masyarakat indonesia yang bergantung ekonominya kepada malaysia.?
bahkan jika difikir,perang bukanlah sebuah permainan yang tanpa biaya.Coba kita perhatikan.Negara sekuat amerika saja bisa goncang perekonomianya akibat pembiayaan perang.Apalah lagi indonesia yang roda ekonominya masih amburadul.
memang kita tidak akan rela wilayah indonesia tercinta diceroboh.Budaya kita dicaplok.Namun perang bukan merupakan penyelesaian dari pada sebuah konflik.Namun merupakan awal dari sebuah permasalahan.

sumber : http://www.gandensang.com/2009/06/jika-malaysia-dan-indonesia-perang.html

penyelesaian konflik malaysian dan indonesia

Dimulai dengan konfrontasi Indonesia-Malaysia yang berawal dari perang mengenai Kalimantan Utara antara kedua negara pada 1962-1966. Perang ini berawal dari keinginan Malaysia untuk menggabungkan Brunei, Sabah dan Sarawak dengan Persekutuan Tanah Melayu pada 1961.

Keinginan itu ditentang oleh Presiden Soekarno yang menganggap Malaysia sebagai “boneka” Inggris dan kekuatan barat. TNI sempat menyeruak masuk dan menyerang Malaysia.

Namun, perlawanan Proklamator RI terhadap kekuatan barat tersebut tidak berlangsung lama, karena hanya berselang 5 tahun yakni pada 1966, kekuasaannya akhirnya digulingkan. Presiden Soeharto yang kemudian menggantikan dan memimpin Indonesia berhasil meredam konflik yang terjadi.

Dalam sebuah pertemuan di Bangkok pada 28 Mei 1966, kedua negara mengumumkan langkah-langkah penyelesaian konflik. Selanjutnya, fase booming minyak yang terjadi membuat negara-negara tetangga memandang tinggi Indonesia, apalagi ditambah dengan keberhasilan meraih pertumbuhan ekonomi tertinggi di ASEAN mencapai angka di atas 10%, membuat tidak banyak yang berani mengusik bumi pertiwi.

Sayangnya, pengelolaan perekonomian negara yang amburadul membuat pembangunan yang telah dicapai mengalami setback. Beban utang yang tidak dikelola dengan baik akhirnya menjerat dan membuat kondisi bangsa terpuruk. Setelah era reformasi, berbagai masalah yang sebelumnya tidak banyak terekspose, terus bermunculan.

Untuk menanggulanginya, pemerintah kedua negara bahkan sepakat membentuk EPG (eminent persons group). Kelompok yang berisikan tokoh-tokoh sepuh kedua negara bertujuan menjaga hubungan baik RI-Malaysia. Namun pemahaman terhadap akar permasalahan yang sebenarnya terjadi, membuat proses mencari solusi tersebut ibarat menegakkan benang basah.

kasus ambalat dengan malaysia

Hubungan dua bangsa serumpun Indonesia-Malaysia kini tengah mencapai titik paling kritis. Sejak Petronas, perusahaan minyak milik Malaysia, memberikan konsesi pengeboran minyak di lepas pantai Sulawesi yaitu di Blok Ambalat kepada Shell (perusahaan milik Inggris dan Belanda), hubungan kedua negara tetangga tersebut mengalami ketegangan yang mencemaskan. sudah beberapa kali kapal-kapal perang RI dan Malaysia berhadap-hadapan, nyaris baku tembak. Untung keduanya masih menahan diri. Seandainya salah satu pihak menembak, niscaya perang terbuka akan meletus. Jika sudah demikian, hubungan RI-Malaysia pun akan makin tegang dan menyeret konflik yang lebih luas.Yang menjadi pertanyaan kita: kenapa Malaysia punya sikap senekat itu tanpa mengindahkan tatakrama hubungan antarnegara ASEAN? Pertanyaan itu agaknya tak mudah dijawab. Banyak hal yang menyebabkan kenapa negeri jiran itu tiba-tiba berambisi menduduki Ambalat. Salah satunya, karena di Blok Ambalat terkandung minyak dan gas bumi yang nilainya amat besar, mencapai miliaran dolar. Tapi ada alasan lain yang tampaknya menjadi pertimbangan dalam pendudukan Ambalat: Indonesia tengah mengalami krisis kepercayaan, korupsi, dan pengikisan dari dalam sehingga posisi Indonesia jika berkonflik dengan Malaysia niscaya kalah! Malaysia secara geografis dan populasi memang kecil, bukan tandingan Indonesia. Tapi dilihat secara militer khususnya jumlah peralatan militer canggih Malaysia unggul dibanding Indonesia. Malaysia punya uang, tak punya utang, dan sewaktu-waktu bisa membeli peralatan militer secara kontan. Jadi meski secara kuantitas dia kecil, tapi secara kualitas dia besar.

Kasus Ambalat secara tiba-tiba menyadarkan kita dari mabuk eforia dan terlena oleh berbagai permasalahan dalam negeri yang belum menemukan solusinya (inward looking) bahwa selain itu kita juga perlu menaruh perhatian kita terhadap masalah yang datang dari luar (outward looking). Akibat dari keterlambatan kita dalam menghadapi sesuatu akan memuat kita gelagapan dan dengan setengah sadar menghadapinya. Seperti halnya apa yang sedang hangat dewasa ini kita hadapi yaitu munculnya klaim Malaysia terhadap Blok Ambalat di Laut Sulawesi. Reaksi kita seperti orang yang dibangunkan dari tidur secara tiba-tiba --gelagapan, kita berobicara seperti setengah sadar dan dengan penuh emosional. Keluarlah kata-kata, ganyang Malaysia, serang Malaysia, hancurkan Malaysia, dan kata-kata keras lainnya. Dan secara tidak sadar pula tiba-tiba kita menyatakan bahwa kita membutuhkan TNI yang kuat agar TNI memberikan pukulan yang mematikan, agar TNI tidak ragu-ragu menghajar Malaysia, dan sebagainya.Demikian juga sebenarnya dalam menghadapi kasus Ambalat ini. Jelas bahwa kita wajib mempertahankan kedaulatan dan integritas tanah air kita, tidak sejengkal pun boleh jatuh ke tangan asing. Namun kebijaksanaan dan tindakan kita tetap harus rasional, proporsional, profesional, dan penuh kearifan. Sebelum menggunakan jalan kekerasan atau kekuatan militer (forcible means) sebagai jalan terakhir, sebaiknya tempuh dulu cara-cara damai atau diplomasi (peaceful means).Penyelesaian secara politis dengan mendahulukan perundingan melalui saluran-saluran diplomatis akan lebih baik. Memang jalan ini memerlukan kesabaran dan waktu, namun hasilnya akan jauh lebih baik bagi semua pihak ketimbang melalui jalan perang.

konflik indonesia dan malaysia sejarah yang berulang

EJARAH pasti berulang. Pemeo ini dibuat guna mengingatkan manusia bahwa kejadian-kejadian di masa lampau suatu saat nanti akan mengalami repetisi. Pemeo tersebut bisa kita kaitkan dengan kondisi hubungan bilateral Indonesia-Malaysia, yang kini memang sedang “terganggu” akibat adanya klaim sepihak pemerintah Malaysia terhadap blok Ambalat yang ada di Laut Sulawesi. Selama ini, hubungan kedua negara memang tidak selalu mulus. Dengan kata lain, relasi bilateral kedua negara memang tidak sepenuhnya diwarnai oleh kenangan manis.

Sejumlah cedera politik, seperti kasus Sipadan-Ligitan, ikut mewarnai hubungan diplomatik kedua negara.

Pada masa pemerintahan Soekarno, hubungan kedua negara satu rumpun ini pernah terguncang, bahkan mencapai klimaks, ketika Presiden RI Soekarno saat itu memutuskan hubungan diplomatik dengan Malaysia.

Indonesia saat itu melihat Malaysia sebagai antek kolonialisme, yang mendukung penjajahan di atas muka bumi. Politik luar negeri Indonesia saat itu memang lebih cenderung pro-Timur, dalam artian pemerintah Indonesia di bawah pimpinan Soekarno, membenci segala hal yang berbau Barat. Karena kolonialisme adalah produk Barat, maka Indonesia pun menunjukkan ketidaksukaannya ketika Malaysia memilih bergabung dengan Inggris. Sampai saat ini pun, Malaysia, di samping Inggris, Singapura, dan sejumlah negara lainnya, merupakan anggota negara-negara persemakmuran Inggris.

Parahnya, hubungan Indonesia-Malaysia pada tahun 1960-an itu bisa dilihat dari sejumlah slogan politik yang marak saat itu. “Ganyang Malaysia” menjadi suatu kalimat yang populer pada masa itu. Untunglah, perseteruan antara saudara serumpun itu pulih kembali setelah Soeharto menjadi Presiden RI ke-2.

Jadi, jika melihat peta hubungan diplomatik kedua negara, tidaklah salah jika pemeo tersebut menjadi “hidup” kembali. Setidaknya orang-orang yang meyakini kebenaran pemeo itu ingin mengingatkan Indonesia dan Malaysia bahwa sejarah bisa terulang.

Jadi, perseteruan yang pernah terjadi di antara keduanya pada masa lampau bisa kembali terjadi pada tahun ini. Indikasi ke arah itu menguat jika kita melihat kedua negara melakukan sejumlah tindakan pengamanan teritorial di sekitar perairan Karang Unarang Sulawesi Utara.

Tampaknya, luka lama akibat perlakuan Malaysia pada masa lampau yang sering mengklaim sepihak terhadap wilayah RI, belum pulih benar, sehingga sejumlah isu sensitif, khususnya yang berkaitan dengan teritorial pun berpeluang besar mengganggu hubungan saudara serumpun. Apalagi, masyarakat Indonesia melihat perilaku Malaysia belakangan ini cenderung melecehkan Indonesia. Perlakuan pemerintah dan rakyat “Negeri Jiran” tersebut kepada para TKI kita di sana sungguh merupakan tindakan yang tidak terpuji.

Sebelum kasus TKI, kita pun sempat berang dengan klaim Malaysia terhadap Sipadan-Ligitan. Klaim sepihak pemerintah negeri jiran terhadap Pulau Sipadan-Ligitan, telah menyebabkan Indonesia kehilangan wilayah tersebut.

Dalam kasus tersebut, kedua negara, Indonesia dan Malaysia memang saling mengklaim kepemilikan wilayah tersebut. Akhirnya, sebagai solusi, kasus itu pun dibawa ke Mahkamah Internasional. Malangnya, pada tahun 2002 lalu, Indonesia kalah dalam persidangan penentuan kepemilikan pulau tersebut. Pulau itu pun resmi menjadi milik Malaysia meski sebenarnya sampai kini Indonesia “tidak rela” kedua pulau itu dimiliki “Negeri Jiran” tersebut.

Sentimen negatif rakyat kita akibat kasus TKI dan Sipadan-Ligitan belumlah hilang, kini muncul kasus Ambalat, yang akhirnya membuat rakyat kita tambah berang terhadap perilaku Malaysia yang arogan. Jadi, memang bisa dimengerti mengapa respons emosional masyarakat kita begitu meledak-ledak.

Apalagi, jika kita membicarakan masalah power yang dipunyai kedua negara, maka kita bisa perhatikan, power Malaysia kini berbeda jauh dengan power yang dipunyai negara itu pada tahun 1970-an atau 1980-an. Malaysia kini berkembang dengan sangat pesat. Malaysia punya soft power yang bisa dikatakan lebih unggul dibandingkan Indonesia. Kemakmuran ekonomi Malaysia telah membuat citra negeri tersebut relatif lebih baik. Apalagi, fakta menunjukkan begitu banyak warga negara kita mengais rezeki di sana sebagai pembantu rumah tangga dan buruh kasar lainnya. Warga kita di sana memang identik dengan pekerjaan rendahan tersebut. Setidaknya, banyaknya TKI yang tinggal di sana, membuat pemerintah Malaysia ingin mengatakan bahwa Malaysia kini lebih maju dari Indonesia. Soft power inilah yang digunakan Malaysia untuk berbuat seenaknya, termasuk mungkin dalam kasus Ambalat.

Kasus Ambalat bermula dari perlakuan pemerintah Malaysia yang memberi konsesi kepada perusahaan minyak Amerika, Shell untuk melakukan eksplorasi di Laut Sulawesi. Malaysia mengklaim blok Ambalat yang berada di perairan Karang Unarang tersebut adalah milik Malaysia. Padahal, berdasarkan deklarasi Juanda 1957, pulau tersebut milik Indonesia. Deklarasi Juanda sendiri pada tahun 1959 telah diadopsi oleh PBB ke dalam Konvensi Hukum Laut. Dengan demikian, PBB pun mengakui kepemilikan Indonesia atas pulau itu.

Tidaklah mengherankan jika masyarakat kita marah sebagaimana ditunjukkan masyarakat Makassar yang menolak klaim Malaysia tersebut. Bahkan rakyat setempat meminta pemerintah kita untuk mengambil tindakan tegas terhadap ulah arogan pemerintah Malaysia. Slogan politik “Ganyang Malaysia” pun kembali populer dan ini bukan hanya terjadi di Sulawesi tetapi juga di Jawa Barat dan wilayah Indonesia lainnya. Mereka meminta pemerintah mempertahankan kepemilikan atas pulau itu.

Pemerintah RI memang telah mengerahkan tujuh kapal perangnya ke perairan Karang Unarang. Ini dilakukan bukan untuk mengajak Malaysia berperang tetapi semata-mata untuk menjaga kedaulatan wilayah RI. Apalagi, Indonesia sendiri merasa terhina ketika di lautan itu pun, sejumlah kapal perang Tentara Laut Diraja Malaysia juga berpatroli di sana. Indonesia melihat langkah Malaysia tersebut sudah tidak bisa ditoleransi. Dengan kata lain, Malaysia sudah melakukan pelanggaran teritorial maka Indonesia pun berhak untuk segera mengambil tindakan tegas.

sumber : http://samenew.wordpress.com/2007/12/15/konflik-indonesia-malaysia-sejarah-yang-berulang/

sejarah asal - usul konflik di indonesia

HUBUNGAN Indonesia dan Malaysia kembali memanas beberapa waktu yang lalu. Pemicunya lagi-lagi gara-gara Malaysia yang menggunakan kebudayaan Malaysia dalam iklan pariwisatanya. Kali ini giliran tari Pendet yang digunakan sebagai iklan Enigmatic Malaysia di Discovery Channel. Publik Indonesia langsung panas melihat iklan ini. Apalagi ditambah media yang gencar mengekspos berita ini. Memang iklan kali ini agak berbeda karena bukan dibuat semacam Departemen Pariwisata Malaysia, melainkan oleh pihak Discovery Channel. Dan mungkin itulah pula kenapa iklan itu bertajuk Enigmatic Malaysia bukan Visit Malaysia seperti yang biasanya. Kalau diartikan harfiyah Enigmatic Malaysia artinya ‘Malaysia yang Membingungkan‘. Jadi sebenarnya rakyat Indonesia tidak perlu terlalu marah karena bisa jadi sebenarnya iklan itu menunjukkan krisis identitas dalam kebudayaan yang sedang dialami oleh Malaysia sehingga mengambil budaya-budaya Indonesia:D

Berbicara mengenai konflik Indonesia Malaysia, hal itu sudah lama terjadi bahkan ketika Malaysia baru berdiri. Seperti yang kita tahu kemerdekaan Malaysia adalah ‘pemberian’ Inggris sebagai penjajahnya. Secara nama, Malaysia yang berasal dari kata Malaya itu tentu saja logikanya jika akan dibuat Negara tentu ya wilayah jajahan Inggris di Semenanjung Malaya. Pertamanya memang seperti itu dan Indonesia tidak mempermasalahkan bedirinya Malyasia itu. Negara Malaysia atau yang lebih tepatnya Federasi Malaysia adalah negara federasi gabungan dari beberapa kerajaan local di wilayah Semenanjung Malaysia. Kalimantan Utara yang terdiri dari tiga wilayah yaitu Sabah, Sarawak dan Brunei tidak termasuk ke dalam wilayah Malaysia namun masih tetap berupa koloni Inggris.

Namun ternyata Inggris memepunyai rencana lain tentang Negara Malaysia. Inggris hendak menggabungkan Kalimantan sebelah Utara bersama wilayah Semenanjung Malaya dalam satu Negara bernama Malaysia. Terang saja Soekarno selaku Presiden Indonesia saat itu sangat marah dan tidak terima. Bukan masalah Kalimantan Utara yang tidak masuk wilayah Indonesia itu tapi keberadaan Negara itu justru akan mengancam kedaulatan Indonesia karena hanya merupakan boneka Inggris. Jika wilayah Kalimantan Utara itu diisi Negara bentukan Inggris tentu peluang Inggris menguasai Indonesia, terutama Kalimantan, sangat besar. Tinggal lintas darat sudah sampai Kalimantan. Disamping itu semangat yang sedang berkembang di dunia adalah anti neo imperialism dan neo kolonialisme sedangkan penggabungan wilayah Inggris itu bisa dikatakan neokolonialisme.

Soekarno tidak sembarangan beralasan seperti itu karena fakta memang membuktikan demikian. Indonesia mempunyai pengalaman yang tidak mengenakkan dengan percobaan neokolonialisme. Saat sekutu datang ke Indonesia, yang saat itu Indonesia sudah merdeka, dengan dalih melucuti Jepang ternyata sekutu diboncengi Belanda yang ingin kembali menjajah Indonesia. Bukan tidak mungkin kelak Negara Malaysia yang terletak di utara Kalimantan itu bisa diboncengi kepentingan Inggris. Kalau sampai Federasi Malaysia dan Kalimanan Utara bergabung tentu control Inggris di wilayah Asia Tenggara itu bisa menjadi semakin kuat.

kontrofersi indonesian dan malaysia

Malaysia adalah sebuah negara federasi yang terdiri dari tiga belas negara bagian dan tiga wilayah persekutuan di Asia Tenggara dengan luas 329.847 km persegi.[4][5] Ibukotanya adalah Kuala Lumpur, sedangkan Putrajaya menjadi pusat pemerintahan persekutuan. Jumlah penduduk negara ini melebihi 27 juta jiwa.[5] Negara ini dipisahkan ke dalam dua kawasan — Malaysia Barat dan Malaysia Timur — oleh Kepulauan Natuna, wilayah Indonesia di Laut Cina Selatan.[5] Malaysia berbatasan dengan Thailand, Indonesia, Singapura, Brunei, dan Filipina.[5] Negara ini terletak di dekat khatulistiwa dan beriklim tropika.[5] Kepala negara Malaysia adalah Yang di-Pertuan Agong[6] dan pemerintahannya dikepalai oleh seorang Perdana Menteri.[7][8] Model pemerintahan Malaysia mirip dengan sistem parlementer Westminster.[9]

Malaysia sebagai negara persekutuan tidak pernah ada sampai tahun 1963. Sebelumnya, sekumpulan koloni didirikan oleh Britania Raya pada akhir abad ke-18, dan paro barat Malaysia modern terdiri dari beberapa kerajaan yang terpisah-pisah. Kumpulan wilayah jajahan itu dikenal sebagai Malaya Britania hingga pembubarannya pada 1946, ketika kumpulan itu disusun kembali sebagai Uni Malaya. Karena semakin meluasnya tentangan, kumpulan itu lagi-lagi disusun kembali sebagai Federasi Malaya pada tahun 1948 dan kemudian meraih kemerdekaan pada 31 Agustus 1957.[10] Singapura, Sarawak, Borneo Utara, dan Federasi Malaya bergabung membentuk Malaysia pada 16 September 1963.[11] Tahun-tahun permulaan persekutuan baru diganggu oleh konflik militer dengan Indonesia dan keluarnya Singapura pada 9 Agustus 1965.[12][13] Bangsa-bangsa di Asia Tenggara mengalami ledakan ekonomi dan menjalani perkembangan yang cepat di penghujung abad ke-20. Pertumbuhan yang cepat pada dasawarsa 1980-an dan 1990-an, rata-rata 8% dari tahun 1991 hingga 1997, telah mengubah Malaysia menjadi negara industri baru.[14][15] Karena Malaysia adalah salah satu dari tiga negara yang menguasai Selat Malaka, perdagangan internasional berperan penting di dalam ekonominya.[16] Pada suatu ketika, Malaysia pernah menjadi penghasil timah, karet dan minyak kelapa sawit di dunia.[17] Industri manufaktur memiliki pengaruh besar bagi ekonomi negara ini.[18] Malaysia juga dipandang sebagai salah satu dari 18 negara berkeanekaragaman hayati terbesar di dunia.[19]

Suku Melayu menjadi bagian terbesar dari populasi Malaysia. Terdapat pula komunitas Tionghoa-Malaysia dan India-Malaysia yang cukup besar.[20] Bahasa Melayu[21] dan Islam masing-masing menjadi bahasa dan agama resmi negara.[5][22]

Malaysia adalah anggota perintis ASEAN dan turut serta di berbagai organisasi internasional, seperti PBB.[23][24] Sebagai bekas jajahan Inggris, Malaysia juga menjadi anggota Negara-Negara Persemakmuran.[25] Malaysia juga menjadi anggota D-8.[26].


sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Malaysia

pendidikan tanpa sekolah

Jika anak-anak yang dididik tanpa sekolah tidak terikat untuk mengikuti kurikulum tertentu dan tidak perlu mengerjakan tugas pelajaran formal, lalu bagaimana mereka menghabiskan waktu mereka? Jika orang tua tidak mengawasi anak-anak yang belum mengerjakan pekerjaan rumah serta tidak mengevaluasi apa saja yang telah mereka pelajari, apa yang terjadi? Seperti apa rumah yang memberikan pendidikan tanpa sekolah?

Pendidikan tanpa sekolah relatif jauh lebih mudah dari pada pendekatan belajar yang lebih terstruktur, karena ada sedikit tugas formal yang harus dikerjakan. Tidak ada jadwal pelajaran, tidak ada tugas yang perlu diberikan, tidak ada tes tertulis untuk dinilai. Namun pendidikan tanpa sekolah juga lebih sulit dalam hal bahwa setiap orang harus selalu siap untuk belajar. Apa saja, kapan saja dan dimana saja bisa diubah menjadi kegiatan belajar dan mendidik. Jadi pendidikan tanpa sekolah jauh dari anggapan ’tidak melakukan apa-apa’. Bahkan para orang tua yang memilih cara pendidikan tanpa sekolah akan sangat terlibat dalam setiap jenak proses pembelajaran anak-anak mereka. Tetapi bedanya, proses itu bukan proses yang dipaksakan kepada anak-anak mereka, melainkan merupakan proses yang sangat kolaboratif dengan semangat kerjasama. Bukan pengawasan yang bersifat memaksa dan royal dalam memberi hukuman, bentakan, cubitan, sabetan rotan, jepretan karet bahkan tamparan sebagai bentuk kemarahan orang tua yang melihat anaknya tak mau mengerjakan PR atau tak mampu mengerjakannya.

riwayat pendidikan di indonesia

Tujuan pendidikan setidaknya terbagi menjadi dua, yaitu pendidikan bertujuan mengembangkan aspek batin/rohani dan pendidikan bersifat jasmani/ lahiriyah. Pendidikan bersifat rohani merujuk kepada kualitas kepribadian, karakter, akhlak dan watak, kesemua itu menjadi bagian penting dalam pendidikan, kedua pengembangan terfokus kepada aspek jasmani, seperti ketengkasan, kesehatan, cakap, kreatif. Pengembangan tersebut dilakukan di institusi sekolah dan di luar sekolah seperti di dalam keluarga, dan masyarakat.

Tujuan pendidikan berusaha membentuk pribadi berkualitas baik jasmani dan rohani. Dengan demikian secara konseptual pendidikan mempunyai peran strategis dalam membentuk anak didik menjadi manusia berkualitas, tidak saja berkualitas dalam segi skill, kognitif, afektif, tetapi juga aspek spiritual. Hal ini membuktikan pendidikan mempunyai andil besar dalam mengarahkan anak didik mengembangkan diri berdasarkan potensi dan bakatnya. Melalui pendidikan anak memungkinkan menjadi pribadi soleh, pribadi, berkualitas secara skill, kognitif dan spiritual.

Tetapi realitas di masyarakat membuktikan pendidikan belum mampu menghasilkan anak didik berkualitas secara keseluruhan. Kenyataan ini dapat dicermati dengan banyaknya perilaku tidak terpuji terjadi di masyarakat, sebagai contoh merebaknya pengguna narkoba, penyalahgunaan wewenang, korupsi, manipulasi, perampokan, pembunuhan, pelecehan seksual, pelanggaran Hak Azasi Manusia, penganiayaan terjadi setiap hari. Realitas ini memunculkan anggapan bahwa pendidikan belum mampu membentuk anak didik berkepribadian paripurna.

Pendidikan diposisikan sebagai institusi yang dianggap gagal membentuk anak didik berakhlak mulia. Padahal tujuan pendidikan di antaranya adalah membentuk pribadi berwatak, bermartabat beriman dan bertakwa serta berakhlak. Dalam tulisan ini tidak bermaksud untuk mencari dan meneliti penyebab gagalnya pendidikan secara keseluruhan, tidak juga ditujukan untuk meneliti aspek penyebab kegagalan, atau latar belakang kebijakan pendidikan sehingga pendidikan menjadi carut marut.

Tetapi pembahasan ini akan difokuskan kepada metode membentuk pribadi berakhlak mulia. Berakhlak mulia merupakan bagian dari tujuan pendidikan di Indonesia, tujuan tersebut membutuhkan perhatian besar berbagai pihak dalam rangka mewujudkan manusia berskill, kreatif, sehat jasmani dan rohani sekaligus berakhlak mulia. Penulis beranggapan bahwa inti dari pendidikan adalah pendidikan akhlak, sebab tidak ada artinya skill hebat jika tidak berakhlak mulia. Tidak ada artinya mempunyai generasi hebat, jenius, kreatif tetapi tidak berakhlak mulia.

pendidikan di indonesia

Konsep mendidik sendiri adalah sekumpulan metode edukasi yang dapat mengarahkan setiap individu untuk membangun kepribadiannya secara paripurna. Baik dari segi ilmiah, keimanan, akhlak, sosial dan lain sebagainya. Proses ini bertujuan untuk mengangkat kualitas diri pada derajat kesempurnaan manusiawi, serta menekankan pada potensi dan kemauan diri yang secara fitrah mencintai langkah kearah kebaikan. Sebagai sebuah konsep, proses mendidik diri sendiri tentunya memiliki beragam metode dan cara. Sebagai pilar pertama menurut para ulama adalah instropeksi diri.

Instropeksi diri adalah sesuatu yang terjadi secara alami belaka, jika orang mau menggunakan akalnya. Fitrah manusia yang mencintai kebaikan dan membenci keburukan, membuat orang berfikir untuk memilih jalan yang terbaik dalam hidupnya. Bagi seorang muslim, instropeksi diri punya makna tersendiri, sebab orientasi perbuatannya adalah akhirat. Seperti sebuah ungkapan : instropeksilah dirimu, sebelum kalian diperhitungkan, perhatikanlah amal saleh yang telah kalian persiapkan, saat kembali dan mempersembahkannya dihadapan Allah SWT. Selain itu pula proses instropeksi ini sangat bermanfaat jika rutin dilakukan pada waktu tertentu. Kondisi ini adalah kesempatan emas untuk menengok kebaikan yang telah didulang, sembari merunut jumlah keburukan yang telah menjerat diri.

Tak dapat di pungkiri, bahwa sikap lalai kebanyakan orang, dilatar belakangi oleh awamnya terhadap manfaat mendidik diri sendiri. Beberapa pakar muslim telah menguraikan manfaat dari hasil proses mendidik sendiri yang menuntut keikhlasan dan kesungguhan, adalah sebagai berikut :

1. Manfaat pertama adalah kejayaan & ganjaran surga di akhirat (QS Al-Kahfi:107).

2. Mendidik diri sendiri yang terwujud dalam kesungguhan, berpegang teguh pada aturan yang hak, dan akan melahiran kebahagiaan serta ketentraman yang tak diperoleh dengan jalan lain (QS Thaha:124).

3. Pribadi-pribadi yang berusaha mengamalkan akhlak baiknya dalam kehidupan sehari-hari, tak ayal akan meraih cinta dan perasaan untuk dapat diterima oleh orang lain. Sebab, setiap manusia sejati berusaha menjauhi perbuatan- perbuatan yang dapat merusak hubungan sesama manusia seperti syirik, fitnah, gosip, zalim dan lain sebagainya.

4. Waktu dan hartapun menjadi berkah. Boleh jadi umur dan harta yang diberikan lebih sedikit dibandingkan orang lain, akan tetapi kesungguhan manusia sejati, yang berusaha mendidik dirinya, akan membuat waktu yang kelihatannya sedikit, akan sarat dengan manfaat. Setiap waktunya adalah upaya untuk meminimalkan tindakan-tindakan bodoh yang dapat merusak nilai ”rapot”nya dihadapan Allah SWT.

5. Pribadi yang mengasah dirinya juga lebih tahan banting dalam menghadapi persoalan dunia. Jauh dari stres dan putus asa. Saat gembira, ia menabur syukur. Saat nestapa, ia menebar sabar.

mutu dan kwalitas pendidikan di papua

Pendidikan pada dasarnya diselenggarakan dalam rangka membebaskan manusia dari berbagai persolan yang melingkupinya dan mempertemukan manusia dengan kodrat sejatinya, yakni kemanusiaan. Paulo Freire melalui Yunus, (2002) mengatakan, pendidikan adalah salah satu upaya pengembalian fungsi manusia agar terhindar dari berbagai keterbelakangan, maka pendidikan harus menjadikan alat pembebasan. Maka itu, Mutu dan kualitas pendidikan dapat dilihat dari sejauh mana suatu bangsa membangun manusianya untuk membebaskan dirinya dan lingkunganya.

Dalam rangka membebaskan manusia dari berbagai keterbelakangan itu bangsa kita terus dan selalu mencari format pendidikan yang sesuai untuk membebaskan manusia Indonesia dari berbagai keterbelakangan. Pencarian format pendidikan itu terlihat dengan perubahan kurikulum setiap selang sepuluh tahun. Namun kurikulum yang selalu dimunculkan itu justru menambah persoalan pendidikan kita, apalagi berbicara tentang mutu dan Profesionalisme masalah Pendidikan Papua, karena kurang tersosialisasi dan para pelaku pendidikan dilapangan enggan menerjemahkan serta merealisasaikan konsep-konsep tersebut dalam pembelajaran di sekolah. Dalam hal ini di tanah Papua , misalnya selama ini konsep-konsep kurikulum kurang tersosialisasikan dengan baik kepada praktisi pendidikan (guru). Selain itu guru sebagai praktisi di lapangan tidak pernah dilibatkan baik secara langsung maupun tidak langsung untuk mengetahui konsep-konsep tersebut. Kalaupun dilibatkan melalui kegiatan seminar, pelatihan atau lokakarjarya sekalipun hanya berlalu sebagai kewajiban. Bukan suatu kebutuhan.

Bagaimana mungkin sebuah kurikulum berhasil dan dapat mewujudkan peningkatan mutu dan kwalitas pendidikan dan pendidik profesionalyang berhasil, kalau toh kurikulum itu tidak menjiwai seorang guru. Misalnya, ketika secara konseptual kurikulum Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA) diterapkan dengan harapan meningkatkan keaktifan siswa secara fisik, mental, intelektual dan emosional. Dalam penerapan CBSA itu guru menjadi kambing hitam kegagalan kurikulum tersebut. Sementara itu, banyak pihak menilai kurang adanya sosialisasi mengakibatkan penerjemahan yang kurang baik di lapangan oleh praktisi dilapangan (guru). Persoalan pendidikan di Papua tidak hanya itu, kebanyakan guru (tamatan tahun 70-an) sampai saat ini sulit melepaskan diri dari model pembelajaran yang mereka terima dari guru mereka di bangku Sekolah Guru Bawahan (SGB) dan Sekolah Pendidikan Guru (SPG).

Penerapan kurikulum 2004 yang dikenal dengan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) di Papua, dikhawatirkan akan mengalami nasif yang sama dengan kurikulum CBSA dan kurikulum lainya. Anita Lie (2005) mengatakan, penggunaan berbagai jargon dalam kurikulum nasional misalnya, siswa aktif, kompetensi, kewarganegaraan dan sebagainya tidak dilandasi dengan paradigma yang mantap dan relevan dengan konteks budaya dan lingkungan yang dapat membentuk siswa/-siswi dan mahasiswa-mahasiswi papua pada suatu muth dan profesionalnya setempat. Selain itu, selama kurikulum berlum tersosialisasi atau diterjemahkan dengan baik oleh guru dalam pembelajaran, maka mutu dan kualitas pendidikan di suatu daerah (Papua) tetap akan terpuruk.

Keterpurukan mutu dan kualitas dan kuantitas pendidikan di Papua yang tak pernah terselesaikan ini tidak terlepas dari mutu tenaga pengajar yang ada. Selain itu, persoalan geografis, fasilitas, kesejahteraan guru, kesesuaikan kurikulum dengan budaya dan lingkungan hidup Papua, penanganan yang kurang mapang atau kurang becus dari pemerintah dan keseriusan pemerintah daerah dan banyak persoalan lainya menjadi masalah klasik yang tak pernah terselesaikan.

Faktor yang satu mempengaruhi factor yang lain. Misalnya, apabila fasilitasnya memadai, apakah juga akan didukung oleh mutu dan profesionalisme guru. Kalau mutu dan profesionalisme guru memadai, bagaimana dengan kesejahteraan gurunya. Karena tentu saja, fasilitas mutu dan seprofesional apapun seorang guru, kalau kesejahteraan belum memadai tentu saja dia akan mencari penghasilan tambahan. Dia akan pergi meninggalkan tugas utamanya, sehingga di sekolah hanya catat dan ceramah. Dalam keadaan seperti ini tahap perencanaan dan evaluasi tidak pernah terjadi di sekolah sehingga apa yang harus diajarkan dan hasilnya bagaimana tidak pernah terlihat. Itulah mata rantai….ketidak mampuan mencetak Sumber Daya Manusia papua yang bermutu dan berkualiatas dan terjadi keterpurukan pendidikan di Papua sampai saat ini.

Secara khusus kompetensi (Mutu dan Profesionalisme) seorang guru di tanah Papua sungguh juga menjadi suatu factor utama ketertinggalan pendidikan. Selama ini, pihak-pihak yang peduli dengan pendidikan Papua masih berpikir fasilitas dan tenaga pendidik. Perhatian dan peningkatan kompetensi tenaga pengajar masih belum begitu terlihat. Sebenarnya, tenaga pengajar harus memahami bagaimana merencanakan pembelajaran (model, metode, dan media, Infotaiment), proses pembelajaran dan sampai pada tahap evaluasi adalah hal yang perlu dilakukan seorang guru (pengajar). Karena memang berbicara mengenai peningkatan mutu dan kualitas pendidikan di tanah Papua tidak terlepas dari kompetensi tenaga pengajar. Penanganan pendidikan yang bagus dari pemerintah, fasilitas yang memadai, kesejahteraan guru cukup, serta kurikulum yang berbasis budaya dan lingkungan Papua, nampaknya belum cukup menjawab persoalan mutu dan profesionalisme pendidikan di Papua. Sebenarnya, persoalan utama keterpurukan pendidikan di tanah Papua tidak terlepas dari profesionalisme tenaga pengajar.

Untuk itu, peningkatan kompetensi mutu dan profesionalisme tenaga pengajar merupakan satu aspek penting yang harus juga mendapat bagian dalam penanganan pendidikan di tanah Papua.

Nampaknya memang peningkatan mutu dan profesionalisme tenaga pengajar bukan sekedar isu tetapi benar-benar suatu keharusan yang harus dijawab!. Persoalannya adalah oleh siapa….?, melalui apa…..? dan bagaimana cara atau mekanisme meningkatkan mutu dan profesionalisme tenaga pengajar….? Apakah pemerintah atau lembaga independen atau justru kedua-duanya…?. Dan kalau itu sudah jelas, realitas sosial budaya dan lingkungannya bagaimana….? dan kompetensi seperti apa yang harus ditingkatkan….? Serta Haruskah Selalu disamakan dengan Kurikulum Nasional yang berlatar belakang budaya, adat istiadat, dan etnik suatu bangsa yang berbeda itu dengan yang lainya ….? Layakkah Otonomi khusus Papua mampu menciptakan Suatu Kurikulum Baru yang berbasis budaya local bagi papua….?

sumber : http://www.myheritage.com/FP/newsItem.php?s=28894481&newsID=1&sourceList=home

bisnis pendidikan sekolah

Bisnis sekolah memang suatu bisnis yang sangat menguntungkan. Bagaimana tidak? Dengan perhitungan bisnis, misalnya untuk biaya pembangunan gedung, sarana dan prasarana bisa didapat langsung dari uang pendaftaran, seragam, uang gedung (uang buku?) yang jumlahnya tidak sedikit dan wajib dibayar dimuka. Sedangkan untuk gaji guru dan keperluan sehari-hari bisa didapat dari uang spp murid, pendek kata semua uang diterima dimuka.

Melihat promosi sekolah, tak beda seperti lihat promosi supermarket karena pendidikan sudah menjadi industri saat ini. Jadi, karena dia memang suatu bisnis, maka sudah tahu apa yang harus dilakukan: bersaing! Lihat saja apa yang mereka tawarkan ke orang tua murid; bilingual, active learning, multiple intelegencies, kelas internasional, sekolah dengan IB Program, sekolah dengan berbagai macam ekskul yang tentu saja itu semua harus diganjar dengan uang tidak murah.

Lantas bagaimana kualitas guru? Jangan berharap!! Asalkan mereka mau mengajar dan bisa bahasa inggris kalau perlu agak kelihatan bule-bule sedikit jadilah mereka guru, perkara bagaimana penampilan membawakan pelajaran di depan kelas, memahami kurikulum atau tidak, tujuan pembelajaran mau dibawa kemana, siswa mengerti atau tidak itu nomor belakang (malah jangan-jangan si bule, backpacker dari jalan Jaksa lagi). Yang penting sekolah ini menawarkan IB program atau tidak, ada tulisan bilingual, active learning, multiple intellegence dll apa tidak di spanduk mereka.

mutasi guru dan mutu pendidikan

Rendahnya mutu pendidikan Indonesia merupakan masalah klasik yang masih belum terpecahkan hingga saat ini. Pemerintah Indonesia terus berusaha untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional. Salah satu program pemerintah yang memicu banyak kontroversi adalah Ujian Nasional (UN). Ada pihak yang mendukung namun tidak sedikit yang menentangnya.

Hasil UN oleh pemerintah dijadikan semacam indikator mutu pendidikan. Sekolah-sekolah pun berlomba-lomba untuk meningkatkan tingkat kelulusan mereka. Sayang seribu sayang tingkat kelulusan tidak berbanding lurus dengan mutu pendidikan. Hal ini terjadi karena sekolah-sekolah mau melakukan apa saja termasuk kecurangan pada sebelum dan pada saat ujian; asal tingkat kelulusan di sekolah mereka tinggi. Melihat fakta tersebut kita semua termasuk pemerintah, pendidik dan masyarakat masih mempunyai pekerjaan rumah yang harus diselesaikan bersama-sama.

Untuk UN tahun 2009 yang akan datang ada sebuah harapan yang mudah-mudahan akan benar-benar meningkatkan mutu pendidikan nasional. Pasalnya ada komitmen sekolah-sekolah di Banjarmasin untuk tidak hanya menargetkan tingkat kelulusan yang tinggi tetapi juga tingkat kejujuran dalam pelaksanaan ujian. Target kejujuran ini diharapkan bisa mencapai seratus persen. Sebab apabila tingkat kejujuran di bawah seratus persen kita layak untuk prihatin dan khawatir bangsa ini akan dipimpin oleh orang-orang yang tidak jujur. Pendidikan hari ini merupakan cerminan keadaan bangsa ini pada masa yang akan datang.

Ketika berbicara mutu pendidikan tentu tidak dapat dilepaskan dengan peranan seorang guru atau pendidik. Guru adalah salah satu komponen penting dalam kemajuan pendidikan nasional. Walaupun peran guru sangat penting bagi kemajuan bangsa ini namun perhatian pemerintah masih relatif kurang. Memang ada niat baik dari pemerintah untuk lebih mensejahterakan para pendidik pada tahun anggaran 2009 yang akan datang sehingga profesi guru sejajar dengan profesi dokter, pengacara dan profesi-profesi bergengsi lainnya. Namun demikian para guru harus bersabar untuk menanti realisasi janji pemerintah.

Apabila nanti kesejahteraan para pendidik sudah memadai hal tersebut tidak menjamin bahwa mutu pendidikan nasional akan meningkat secara otomatis dan cepat. Peningkatan mutu pastinya akan memakan waktu yang tidak sebentar. Namun komitmen pemerintah yang sungguh-sungguh untuk meningkatkan mutu pendidikan dengan lebih memperhatikan kesejahteraan tenaga pendidik Insya Allah tidak akan berakhir sia-sia. Suatu saat kelak komitmen dan realisasi janji pemerintah akan membuahkan hasil yang manis yakni meningkatnya mutu pendidikan.

Seperti kita ketahui bersama mutu satu sekolah dengan sekolah lainnya masih terdapat jurang yang sangat dalam. Ini antara lain disebabkan kebijakan pemerintah yang menganakemaskan sekolah-sekolah tertentu dengan memberi label sekolah berstandar nasional/internasional dan memberikan anggaran yang lebih banyak kepada sekolah-sekolah tersebut. Masyarakat juga memiliki andil sehingga ada sekolah-sekolah favorit dan sisanya merupakan sekolah-sekolah yang dikategorikan sekolah pinggiran. Orang tua (yang memiliki kemampuan ekonomi yang baik) pada akhirnya hanya mau menyekolahkan anak-anak mereka di sekolah-sekolah yang berlabel unggul, favorit dan berstandar nasional/internasional.

Bukan hanya para orang tua yang berkeinginan ‘menuju’ sekolah unggul, favorit dan standar nasional/internasional para guru (biasanya guru yang berkualitas) juga beramai-ramai menuju sekolah tersebut baik karena keinginan pribadi atau karena perintah atasan. Akhirnya guru-guru berkualitas hanya akan menumpuk di sekolah-sekolah tertentu saja. Sedangkan di sekolah-sekolah pinggiran hanya ada guru-guru ‘sisa’ ditambah dengan anggaran yang kurang memadai maka lengkaplah penderitaan sekolah-sekolah tersebut.

Pemerintah harus menghentikan pengkategorian sekolah yang tidak sehat tersebut. Semua sekolah harus diberi perhatian dan bantuan yang sama karena siswa-siswa yang belajar semuanya adalah harapan bangsa penerus bangsa ini.

sumber : http://guswan76.wordpress.com/2008/10/23/mutasi-guru-dan-mutu-pendidikan-nasional/

guru dan kemerdekaan mengajar

endidikan nasional hingga kini; tetap saja masih berkualitas rendah. Ini diindikasikan dari banyaknya guru yang tak layak mengajar. Bukan itu saja, mereka bahkan bernasib kurang "mujur" lagi, terkait gaji yang masih rendah. Berkutat tak jauh dari itu, mahalnya biaya pendidikan di negeri berpenghuni 210 juta jiwa ini menjadi "pengalaman terburuk" lain bagi noda hitam dunia pendidikan.

Dari beragam keterjanggalan itu; budaya Korupsi, Kolusi, Nepotisme (KKN) dalam kebirokrasian pendidikan nasional tetap saja menjadi tamparan jebloknya track record departemen yang dikomandoi oleh Mendiknas-Bambang Sudibyo itu. Tak banyak kemajuan yang dapat dicapai dalam dunia pendidikan tahun ini. Hanya satu yang pantas dibanggakan bersama yaitu, prestasi sejumlah siswa yang berhasil menjuarai beragam kompetisi tingkat internasional (olimpiade fisika, matematika dan sains dll).

Dengan bercermin dari "hitam-putih" wajah pendidikan nasional kita, yang pantas dilakukan sekarang yaitu melakukan perombakan total sistem pendidikan nasional (Sisdiknas). Terlebih menyinggung masalah kemerdekaan pihak guru dalam Proses Belajar Mengajar (PBM). Adanya kurikulum nasional yang hanya "mendekte" pola ajar guru, hingga tak memiliki kewenangan sedikit pun guna mengembangkan keintelektualan dan kreativitasnya dalam PBM, dapat berakibat pada kestagnasian progress report atas output pendidikan sendiri. Yaitu, mutu lulusan para peserta didik yang diragukan kapasitas intelektual maupun moralitasnya. Salah satu kasus, banyaknya peserta didik yang tak lulus Ujian Nasional (UN) pada tahun lalu, dan tahun ini tampaknya juga bakal meningkat tajam, merupakan kenyataan klasik yang langsung menunjuki keburukan kualitas pendidikan.

Warisan sistem pendidikan yang ditinggalkan kaum penjajah (Belanda dan Jepang) pada bangsa ini, memang merupakan pengalaman sejarah terdilematis yang cukup menyakitkan. Dalam usianya yang keenam puluh satu tahun, nasib bangsa ini tidak serta merta terlepas dari jerat penjajahan. Untuk mengubah "peta" buruk nasib pendidikan nasional; tak hanya cukup bisa mengandalkan mekanisme kebijaksanaan yang ditempuh pemerintah berkuasa. Apalagi hanya berharap akan datangnya "mukjizat" dari langit, pastilah mustahil. Guru sebagai ujung tombak bagi perbaikan mutu arah mata bandrol pendidikan, perlu melakukan terobosan progresif dengan menginisiatifi gerakan pada "kemerdekaan dalam mengajar".

Yang penulis maksud dengan terminologi gerakan "kemerdekaan dalam mengajar" adalah dengan memberikan kebebasan seluas-luasnya pada para guru guna mengembangkan kurikulum yang ditekuni sendiri.

Pihak sekolah melalui hak privasi masing-masing guru memiliki otoritas penuh-paling tinggi dalam menentukan apakah seorang siswa dapat dikatakan lulus atau tidak. Bukannya seperti sekarang ini, yang masih terdekte dari puncuk pimpinan tertinggi. Sedang seperti diketahui bersama, para pejabat tinggi (dalam departemen pendidikan nasional) sebagian besar terdiri atas insan yang bukan berlatar belakang dari dunia pendidikan. Bagaimana mungkin, personal yang tak memiliki basis pendidik dapat memahami secara riil permasalahan mendasar yang dihadapi para guru di lapangan. Sedang mereka "berasyik masyuk" melakukan megaproyek pada pengkapitalisasian dunia pendidikan.

Contoh paling mutakhir adalah adanya pemahalan seluruh biaya pendidikan dari bangku SD hingga PT, saat ini. Bukankah hal itu menjadi representasi bentuk penjajahan paling nyata? Bersinggungan dengan minimnya dana APBN yang dialokasikan guna pembiayaan pendidikan nasional yang besarnya tak lebih dari sepuluh persen; satu sisi menjadi "ganjalan" tersulit bagi terealisasinya pendidikan murah di negeri ini. Krisis perekonomian sejak awal tahun 1998, hingga menyebabkan kolapsnya denyut nadi hampir seluruh sektor kehidupan berbangsa dan bernegara-termasuk punahnya beragam usaha kecil menengah-hingga kini masih meninggalkan residu negatif yang jauh dari harapan. Publik berharap adanya perbaikan internal dari pihak guru sendiri, kualitas pendidikan di negeri sarat religius ini-dapat merangkak tahap demi tahap menuju perbaikan yang bermakna.

Kerinduan publik akan hadirnya pendidikan yang mencerdaskan-bukannya pendidikan yang menjajah baik secara intelektual maupun moral; semoga dapat segera terjawab.

sumber : http://www.kabarindonesia.com/berita.php?pil=13&dn=20070423090555

bidang sosial budaya

Menuju pendidikan berkeadilan dengan memberikan kesempatan yang seluas-luasnya bagi seluruh rakyat Indonesia. Membangun sistem pendidikan nasional yang terpadu, komprehensif dan bermutu untuk menumbuhkan SDM yang berdaya-saing tinggi serta guru yang profesional dan sejahtera. Menuju sehat paripurna untuk semua, dengan visi sehat badan, mental-spiritual, dan sosial sehingga dapat beribadah kepada Allah SWT untuk membangun bangsa dan negara; dengan mengoptimalkan anggaran kesehatan dan seluruh potensi untuk mendukung pelayanan kesehatan berkualitas. Mengembangkan seni dan budaya yang bersifat etis dan relijius sebagai faktor penentu dalam membentuk karakter bangsa yang tangguh, berdisiplin kuat, beretos kerja kokoh, serta berdaya inovasi dan berkreativitas tinggi. Terciptanya masyarakat sejahtera, melalui pemberdayaan masyarakat yang dapat mewadahi dan membantu proses pembangunan yang kontinyu.

Permasalahan bangsa yang dihadapi demikian kompleks, sehingga memerlukan pendekatan multidimensional dan multijalur. Tak cukup hanya dipecahkan dari sudut ekonomi seperti yang selama ini
cenderung dominan dalam wacana pengambilan kebijakan. Seakanakan berbagai persoalan itu akan sirna, apabila pembangunan ekonomi berlangsung sukses dan pertumbuhan terus meningkat. Padahal, pertumbuhan ekonomi yang tak diiringi dengan pemerataan akan menimbulkan dampak buruk berupa potensi konflik antara daerah yang makmur dan terbelakang, atau antara golongan masyarakat berkecukupan dan mereka yang tersingkirkan. Perkembangan ekonomi yang tidak diikuti dengan penguatan institusi politik dan budaya juga akan menyebabkan kegoncangan sosial tersendiri.
Persoalan bangsa juga tak dapat didekati hanya dari aspek politik dan keamanan belaka, dengan bayangan stabilitas politik dan keamanan akan memperlancar seluruh agenda pembangunan lainnya. Karena penekanan yang berlebihan pada aspek politikkeamanan seringkali mengorbankan kebebasan warga dan daya kreasi publik, sehingga stabilitas politik yang muncul hanya bersifat semu dan artifisial, sedangkan ketidakpuasan serta semangat perlawanan bergejolak di bawah permukaan. Hal itu menjadi ancaman jangka panjang yang lebih serius, dan dapat menghancurkan capaian pembangunan saat ini. Proses pembangunan dalam wujud apapun, harus berpusat pada manusia dan warga masyarakat sebagai subyek utama. Manusia secara individual dan kolektif menjadi penggerak pembangunan, karena itu mereka harus menemukenali permasalahan yang dihadapi dan mencari jalan keluar bagi setiap persoalan itu. Lingkungan yang kondusif tak banyak gunanya, apabila warga masyarakat yang menghuninya tak mampu memanfaatkan perubahan yang terjadi di sekitarnya untuk mengangkat derajat mereka. Kebijakan dan program yang digencarkan oleh pemerintah juga tak banyak bermanfaat, apabila masyarakat tak berinisiatif untuk mengentaskan keadaan mereka yang terpuruk. Pembangunan manusia dari segala aspeknya – fisikal, intelektual, dan spiritual – menjadi kata kunci, agar perubahan sosial dalam berbagai dimensi – ekonomi, politik, dan sosial-budaya – dapat terpenuhi. Karena ini, kebijakan dalam bidang sosial-budaya harus mendapat perhatian serius sebagai sarana membentuk manusia dan masyarakat yang berdaya.

mahasiswa Harvard tertarik untuk menyelesaiakn konflik di aceh

Jakarta (ANTARA News) - Sebanyak 14 mahasiswa Universitas Harvard, AS, mengadakan lawatan ke Indonesia selama tiga pekan sebagai bagian dari studi lapangan selama musim dingin di negaranya dengan fokus isu-isu pasca Tsunami dan konflik di Aceh.

Salah satu kegiatan mahasiswa pasca sarjana dari berbagai disiplin ilmu itu adalah mengikuti seminar tentang isu-isu pembangunan perdamaian dan peran organisasi internasional di Aceh yang berlangsung di kampus Pasca Sarjana Paramadina (PGS) di Jakarta, Rabu.

Seminar itu menampilkan pembicara kunci Duta Besar Amerika Serikat, Cameron Hume, Direktur Proyek International Crisis Group untuk Asia Tenggara, Sydney Jones, dan Andi S. Haq dari Friedrich Ebert Foundation.

Seminar itu yang juga dihadiri antara lain Rektor Universitas Paramadina Anies Baswedan Ph.D, Direktur Program Pasca Sarjana Paramadina (PGS), Dinna Wishnu Ph.D, dan Koordinator Proyek SEA Peace Lab, Evi H Trisna.

Para pembicara membahas latar belakang konflik Aceh, usaha-usaha untuk mencapai perdamaian, peran organisasi internasional dalam proyek rehabilitasi dan rekonstruksi paska tsunami, dan konflik serta demokrasi.

Rombongan mahasiswa itu yang dipimpin Direktur Program Harvard tentang Kebijakan Kemanusiaan dan Riset Konflik, Prof. Claude Bruderlein, juga berdiskusi dengan para mahasiswa PGS untuk membahas isu keamanan, pembanguan dan rekonstruksi, tata pemerintahan dan akutabilitas, dan hak asasi manusia dan keadilan di Aceh Selasa malam.

Pembahasan itu dilakukan setelah mereka mengikuti ceramah Dekan Fakultas Ilmu Politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Prof. Dr. Bachtiar Effendi.

Mereka juga berkesempatan berdialog Dr. Sofyan A. Djalil yang pernah menjadi tim perunding pemerintah dalam usaha penyelesaian konflik Aceh yang berujung pada penandatangan memorandum kesepahaman (MOU) antara Pemerintah dan Gerakan Aceh Merdeka di Helsinki pada 2005.

Para mahasiswa itu juga telah bertemu dengan Menteri Kesehatan yang juga alumni Universitas Harvard, Endang Rahayu Sedyaningsih, dan mantan Kepala Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh-Nias, Kuntoro Mangkusubroto.

Para mahasiswa Harvard itu juga akan berkunjung ke Aceh dan bertemu dengan para pejabat setempat.

Kepada ANTARA usai seminar tersebut, Prof. Claude Bruderlein mengatakan bahwa para mahasiswa Harvard yang belajar tentang hukum, kesehatan masyarakat, dan administsrasi publik memperoleh pengalaman dan pengetahuan berharga dari acara ini. "Mereka mendapatkan informasi dari berbagai sumber yang terkait dengan Aceh."

Dia juga memuji peran Universitas Paramadina yang tumbuh sebagai pusat bagi pembangunan perdamaian dengan menghadirkan berbagai tokoh untuk berdiskusi mencari solusi atas masalah yang kompleks.

Jaimie Hughey, salah seorang mahasiswa Harvard, menyatakan kesannya yang mendalam setelah beberapa hari di Jakarta dan mengikuti seminar serta melakukan dialog tentang Aceh.

"Dari seminar dan dialog yang saya ikuti, saya memperoleh pengetahuan dan berpendapat Aceh masih menyimpan tantangan yang harus diatasi ke depan," ujar mahasiswi yang memperdalam studi bidang hukum itu.

Sekembali dari studi lapangan ini, para mahasiswa akan membuat tugas berupa artikel yang akan disiarkan di jurnal ilmiah atau media cetak di AS.

sumber : http://antaranews.com/berita/1262794917/mahasiswa-harvard-tertarik-penyelesaian-konflik-aceh

macam-macam konflik

Macam-macam konflik


Di dalam bingkai yang disebut "Negara Kesatuan Republik Indonesia"
terdapat pelbagai macam konflik. Konflik antara pusat dengan daerah.
Konflik antara permerintah pusat dengan daerah di luar Jawa. Konflik
antara pemerintah dengan rakyat. Konflik antara go longan berkuasa
dengan
yang dikuasai. Konflik antara partai berkuasa dengan partai yang
tidak
berkuasa. Konflik antara golongan eksekutif dengan golongan
legislatif.
Konflik antar etnis atau yang disebut "suku bangsa". Konflik antara
kaum
buruh dengan maj ikan. Konflik antara modal asing dengan modal dalam
negeri. Konflik antara kaum tani dengan tuan tanah. Konflik antara
kaum
nelayan dengan juragan atau pemilik perahu atau kapal penangkap ikan.
Konflik antara pedagang kaki lima dengan petugas "penertiban"
pasar. Konflik antara orang kaya dengan orang miskin. Konflik antara
polisi dengan tentara. Konflik antara Angkatan Darat dengan Angkatan
Laut
dan Angkatan Udara. Konflik antara kaum konservatif dengan golongan
progresif. Konflik antara yang mau membang un demokrasi dan reformasi
dengan yang menghambat dan menentangnya. Dan masih terdapat aneka
rupa
konflik lainnya di dalam masyarakat manusia dan alam Nusantara, yang
dapat
dirinci satu persatu.


Dasar konflik


Semua konflik itu ada karena ada dasar sosialnya. Dasar utamanya
adalah
ekonomi. Ekonomi merupakan dasar fundamental konflik-konflik itu.
Atas
dasar fundamental itu muncul ke permukaan konflik politik, konflik
hukum,
konflik sosial, konflik budaya, konfli k etnis, dan sebagainya.


Konflik antara pemerintah pusat dengan daerah secara politik,
ekonomi,
hukum, sosial, budaya adalah konflik antara sentralisasi dengan
desentralisasi. Tetapi dasarnya adalah konflik ekonomi. Karena daerah
tidak punya hak menentukan di bidang ekonomi, maka
menimbulkan berbagai konflik lainnya. Kekuatan ekonomi menentukan
segalanya. Kedudukan pusat sebagai majikan dan daerah sebagai kuli
atau
bahkan hamba sahaya saja. Tanpa mengangkangi secara rakus sumber-
sumber
daerah, pusat tidak punya sumsum dalam tula ngnya dan tak punya zat
perekat sendi-sendi tubuhnya.


Konflik pokok dan segi pokok konflik


Konflik pokok dalam kawasan Indonesia sekarang ini adalah antara
Pemerintah Jakarta dengan daerah. Yang dimaksud dengan daerah
meliputi
rakyat, etnis dan pemerintah di daerah. Kekuasaan pusat atau Jakarta
sangat kuat mencengkeram daerah. Kekuatan utama p emerintah pusat ada
pada
militer, kaum modal, kapitalis birokrat, kaum oligarkis. Walaupun
rezim
militer telah ditumbangkan oleh rakyat, tetapi militer (khususnya
Angkatan
Darat) masih mendominasi kekuasaan rezim Jakarta. Kedominasiannya
tidak
boleh diuku r hanya dari kwantitas atau jumlah orangnya yang menjadi
menteri, anggota parlemen dan pejabat dwifungsi mulai dari puncak
kekuasaan hingga ke basis (pedesaan). Melainkan harus dilihat juga
campur
tangan militer (secara terang-terangan atau terselubung) d i bidang
ekonomi. Harus dilihat pula pada kwalitas kekuasaan itu sendiri.
Apakah
kekuasaan di Indonesia sudah demokratis dan reformis? Apakah hukum
sudah
berjalan dengan menghamba kepada rakyat kebanyakan? Apakah militer
sudah
menjadi pengayom masyarakat ? Semua pertanyaan ini dengan kukuh
menyediakan jawaban: belum. Militer merupakan segi pokok yang
menghambat
pembinaan demokrasi dan reformasi yang menyeluruh. Militer yang telah
menyusup ke dalam berbagai partai politik, menongkrongi berbagai
jabatan
pem erintahan sipil, menjadi kapitalis birokrat, mitra atau centeng
kaum
oligarkis merupakan penghadang terhadap tegaknya hukum yang memihak
kepada
rakyat. Tegaknya hukum seperti itu sekaligus ancaman untuk
menertibkan
militer itu sendiri. Berarti militer ti dak lagi mendominasi
kekuasaan dan
tidak lagi menjadi segi pokok sebagai penentu kwalitas kekuasaan.

Rabu, 13 Januari 2010

selamatkan indonesia

Di zaman semua ditarget dan selalu mencari kesempatan serta berusaha mengambil keuntungan sebesar besarnya maka pembatasab kemungkinan dan berpegang tegus kepada komitmen emnjadi sesuatu yang langka dan seringkali contoh pembuatan keputusan tersebut sangat jarang dan tidak laku , dibawah ini ada contoh keputusan yang baik dan bisa dikembangkan serta dilakukan pada beberapa bidang kehidupan lain.



MENTERI Dalam Negeri (Mendagri) H. Mardiyanto mengingatkan penjabat kepala daerah tidak boleh mencalonkan diri dalam pemilihan kepala daerah. Seorang penjabat kepala daerah harus konsen membangun daerah yang menjadi tanggung jawabnya, karena harus meletakkan dasar pembangunan dari daerah bersangkutan, khususnya dasar-dasar pengelolaan administrasi pemerintahan.



‘’Ketentuan tersebut harus diperhatikan benar-benar dan hendaknya berkonsentrasi kepada tugas dan tanggung jawabnya sebagai penjabat kepala daerah,’’ ujar Mardiyanto saat memberikan sambutan peresmian dan pelantikan Penjabat Bupati Kabupaten Lombok Utara (KLU) di Lapangan Bumi Gora Kantor Gubernur NTB, Selasa (30/12) kemarin.



Tidak hanya itu, lanjutnya, penjabat kepala daerah tidak boleh mengundurkan diri di saat daerah belum mengalami perkembangan apa-apa dengan tujuan hanya mengejar pemilihan yang akan digelar. Artinya, kata mantan Gubernur Jawa Tengah ini, penjabat kepala daerah tetap konsen pada tugasnya, sehingga tugas yang dibebankan mampu dijalankan dengan baik.



‘’Yang jelas, penjabat kepala daerah tidak mencalonkan diri dalam pemilihan kepala daerah. Penjabat harus konsen membangun daerah. Selain itu, jangan akal-akalan, setelah 6 bulan menjabat mundur dan 6 bulan berikutnya untuk mempersiapkan diri. Jadi harus konsen pada tugasnya,’’ ujarnya mengingatkan.



Diakuinya, masa jabatan Penjabat Bupati KLU adalah satu tahun. Di mana, dalam satu tahun penjabat kepala daerah harus mempersiapkan berbagai hal yang menyangkut pelaksanaan pemerintah di daerah. Hal yang harus dilakukan, seperti pembentukan DPRD, Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) dan memfasilitasi pemilihan bupati/wakil bupati definitif.



Keputusan mendagri ini baik dalam rangka membuat birokrasi dihormati dan dipatuhi keputusannya serta tidak mengedepankan bahwa kekuasaan itu segalanya dan ini juga sama dengan TNI tidak lagi berpolitik aktif, khusus untuk bangsa Indonesia kebijakan yang kelihatannya sederhana , kecil dan tidak kolosal ini terus ditindaklanjuti pada berbagai keputusan lainnya karena dengan membangun kepercayaan seperti ini kehidupan berbangsa akan sehat walau bisa saja ada yang nentang dengan mengatakan bahwa ini kan namanya membatasi hak politik seseorang sehingga melanggar haz azasi seseorang?. Tapi daripada bingung lebih baik lanjutkan.



Semua orang yang punya nurani sepakat ingin menghentikan pembantaian israel kepada bangsa Palestina sebaliknya tidak menghendaki konflik terhadap bangsa israel juga terus diperbesar sehingga akan menimbulkan korban juga di kalangan rakyat Israel. Jika berbicara soal Islam , Kristen dan Yahudi dikalangan bangsa palestina juga ada keturunan Yahudi dan dikalangan bangsa Israel juga ada yang beragama Islam dan Kristen sehingga soal utamanya adalah pembantaian manusia sehingga ini soal kemanusiaan.



Soal kemanusiaan adalah soal yang sangat strategis didalam kehidupan manusia karena itu soal paling mendasar yang menyangkut kita semua sehingga sangat penting dan sangat mendasar. Hanya dalam kerangka soal konflik saat ini kita harus benar benar fokus menyelesaikan soal penyelesaian konfliknya dan diselesaikan sampai keakarakarnya.

sumber : http://www.selamatkan-indonesia.net/index.php?option=com_content&task=view&id=429&Itemid=63

konflik budaya bangsa

Agar konflik warisan budaya dapat diselesaikan dengan baik, nalar budaya perlu diketahui terlebih dahulu. Budaya secara etimologi berasal dari bahasa Sansekerta, buddayah, jamak dari kata budhi yang berarti akal atau intelektual. Karena itu pula, budaya sering dikaitkan dengan Hak atas Kekayaan Intelektual (HaKI).

Budaya dalam bahasa perancis disebut culture yang berasal dari kata latin colere yang berarti "cultiver" (menanam) atau "honorer" (memuliakan), merujuk secara umum pada aktivitas manusia untuk menumbuhkembangkan sesuatu. Di sini, budaya diibaratkan tanaman untuk bisa tumbuh dan berkembang dengan baik, budaya perlu kebebasan gerak dan ruang. Karena itu pula warisan budaya sebagai sesuatu yang telah ada sejak masa lampau, dinikmati masa kini dan diteruskan pada masa datang, jelas bukanlah suatu penemuan (inventive) dan tak dapat dipatenkan.

Sedangkan HKI sebaliknya hadir untuk membatasi atau menghambat laju pengetahuan dan teknologi yang mengalir seperti air dari atas ke bawah. HKI sama seperti properti lainnya, memberikan hak kontrol dan monopoli kepada pemegangnya maupun ahli warisnya. Hukum melindunginya dari pencurian atau pemakaian tanpa izin (CHANG 2007).

Penerapan HKI atas budaya akan merubah nalar budaya dari yang asalnya bebas menjadi harus melalui izin (from free culture to permission culture). Dengan nalar baru ini, suatu budaya hanya bisa dicipta dengan izin dari otoritas berwenang atau dari pencipta budaya sebelumnya. Budaya izin (permission culture) ini justru mengunci budaya dan menghambat kreativitas (LESSIG 2004).

Penyelesaian Konflik

SDM di indonesia

Fenomena meningkatnya angka pengangguran sarjana seyogyanya perguruan tinggi ikut bertanggungjawab. Fenomena
penganguran sarjana merupakan kritik bagi perguruan tinggi, karena ketidakmampuannya dalam menciptakan iklim
pendidikan yang mendukung kemampuan wirausaha mahasiswa.
Masalah SDM inilah yang menyebabkan proses pembangunan yang berjalan selama ini kurang didukung oleh
produktivitas tenaga kerja yang memadai. Itu sebabnya keberhasilan pembangunan yang selama 32 tahun dibanggakan
dengan tingkat pertumbuhan rata-rata 7%, hanya berasal dari pemanfaatan sumberdaya alam intensif (hutan, dan hasil
tambang), arus modal asing berupa pinjaman dan investasi langsung. Dengan demikian, bukan berasal dari kemampuan
manajerial dan produktivitas SDM yang tinggi. Keterpurukan ekonomi nasional yang berkepanjangan hingga kini
merupakan bukti kegagalan pembangunan akibat dari rendahnya kualitas SDM dalam menghadapi persaingan ekonomi
global.

Kenyataan ini belum menjadi kesadaran bagi bangsa Indonesia untuk kembali memperbaiki kesalahan pada masa lalu.
Rendahnya alokasi APBN untuk sektor pendidikan -- tidak lebih dari 12% -- pada peme-rintahan di era reformasi. Ini
menunjukkan bahwa belum ada perhatian serius dari pemerintah pusat terhadap perbaikan kualitas SDM. Padahal sudah
saatnya pemerintah baik tingkat pusat maupun daerah secara serius membangun SDM yang berkualitas. Sekarang bukan
saatnya lagi Indonesia membangun perekonomian dengan kekuatan asing. Tapi sudah seharusnya bangsa Indonesia
secara benar dan tepat memanfaatkan potensi sumberdaya daya yang dimiliki (resources base) dengan kemampuan
SDM yang tinggi sebagai kekuatan dalam membangun perekonomian nasional.

Orang tidak bekerja alias pengangguran merupakan masalah bangsa yang tidak pernah selesai. Ada tiga hambatan yang
menjadi alasan kenapa orang tidak bekerja, yaitu hambatan kultural, kurikulum sekolah, dan pasar kerja. Hambatan
kultural yang dimaksud adalah menyangkut budaya dan etos kerja. Sementara yang menjadi masalah dari kurikulum
sekolah adalah belum adanya standar baku kurikulum pengajaran di sekolah yang mampu menciptakan dan
mengembangkan kemandirian SDM yang sesuai dengan kebutuhan dunia kerja. Sedangkan hambatan pasar kerja lebih
disebabkan oleh rendahnya kualitas SDM yang ada untuk memenuhi kebutuhan pasar kerja.

kendala IT di dunia pendidikan

Jika memang IT dan Internet memiliki banyak manfaat, tentunya ingin kita gunakan secepatnya. Namun ada beberapa kendala di Indonesia yang menyebabkan IT dan Internet belum dapat digunakan seoptimal mungkin. Kesiapan pemerintah Indonesia masih patut dipertanyakan dalam hal ini.
Salah satu penyebab utama adalah kurangnya ketersediaan sumber daya manusia, proses transformasi teknologi, infrastruktur telekomunikasi dan perangkat hukumnya yang mengaturnya. apakah infrastruktur hukum yang melandasi operasional pendidikan di Indonesia cukup memadai untuk menampung perkembangan baru berupa penerapan IT untuk pendidikan ini. Sebab perlu diketahui bahwa Cyber Law belum diterapkan pada dunia Hukum di Indonesia.
Selain itu masih terdapat kekurangan pada hal pengadaan infrastruktur teknologi telekomunikasi, multimedia dan informasi yang merupakan prasyarat terselenggaranya IT untuk pendidikan sementara penetrasi komputer (PC) di Indonesia masih rendah. Biaya penggunaan jasa telekomunikasi juga masih mahal bahkan jaringan telepon masih belum tersedia di berbagai tempat di Indonesia.. Untuk itu perlu dipikirkan akses ke Internet tanpa melalui komputer pribadi di rumah. Sementara itu tempat akses Internet dapat diperlebar jangkauannya melalui fasilitas di kampus, sekolahan, dan bahkan melalui warung Internet.Hal ini tentunya dihadapkan kembali kepada pihak pemerintah maupun pihak swasta; walaupun pada akhirnya terpulang juga kepada pemerintah. Sebab pemerintahlah yang dapat menciptakan iklim kebijakan dan regulasi yang kondusif bagi investasi swasta di bidang pendidikan. Namun sementara pemerintah sendiri masih demikian pelit untuk mengalokasikan dana untuk kebutuhan pendidikan. Saat ini baru Institut-institut pendidikan unggulan yang memiliki fasilitas untuk mengakses jaringan IT yang memadai. Padahal masih banyak institut-institut pendidikan lainnya yang belum diperlengkapi dengan fasilitas IT.
Harapan kita bersama hal ini dapat diatasi sejalan dengan perkembangan telekomunikasi yang semakin canggih dan semakin murah.

tantangan pendidikan di era globalisasi

Era pasar bebas, atau yang biasa disebut dengan era globalisasi sering didengungkan oleh para pemerhati ekonomi sejak beberapa dekade lalu hingga sekarang ini. Kata “globalisasi” secara populer dapat diartikan menyebarnya segala sesuatu secara sangat cepat ke seluruh dunia.

Robertson dalam Globalization: Social Theory and Global Culture (London, Sage: 1992) mendefinisikan globalisasi sebagai “the compression of the world into a single space and the intensification of conciousness the world as a whole”. Globalisasi juga melahirkan global culture (which) is encompassing the world at the international level.

Globalisasi sebagai sebuah proses mempunyai sejarah yang panjang. Globalisasi meniscayakan terjadinya perdagangan bebas dan dinilai menjadi ajang kreasi dan perluasan bagi pertumbuhan perdagangan dunia, serta pembangunan dengan sistem pengetahuan. Hal ini berarti bahwa terjadinya perubahan sosial yang mengubah pola komunikasi, teknologi, produksi dan konsumsi serta peningkatan paham internasionalisme merupakan sebuah nilai budaya.

sumber : http://www.fai.umj.ac.id/index.php?option=com_content&task=view&id=23&Itemid=54

Terjadinya era globalisasi memberi dampak ganda; dampak yang menguntungkan dan dampak yang merugikan. Dampak yang menguntungkan adalah memberi kesempatan kerjasama yang seluas-luasnya kepada negara-negara asing. Tetapi di sisi lain, jika kita tidak mampu bersaing dengan mereka, karena sumber daya manusia (SDM) yang lemah, maka konsekuensinya akan merugikan bangsa kita.

Oleh karena itu, tantangan kita pada masa yang akan datang ialah meningkatkan daya saing dan keunggulan kompetitif di semua sektor, baik sektor riil maupun moneter, dengan mengandalkan pada kemampuan SDM, teknologi, dan manajemen tanpa mengurangi keunggulan komparatif yang telah dimiliki bangsa kita.

Terjadinya perdagangan bebas harus dimanfaatkan oleh semua pihak dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk aspek pendidikan, di mana pendidikan diharuskan mampu menghadapi perubahan yang cepat dan sangat besar dalam tentangan pasar bebas, dengan melahirkan manusia-manusia yang berdaya saing tinggi dan tangguh. Sebab diyakini, daya saing yang tinggi inilah agaknya yang akan menentukan tingkat kemajuan, efisiensi dan kualitas bangsa untuk dapat memenangi persaingan era pasar bebas yang ketat tersebut.

SDM yang tangguh, menurut Muslimin Nasution (1998), adalah SDM yang menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK). Tugas pendidikan, selain mempersiapkan sumber daya manusia sebagai subjek perdagangan bebas, juga membina penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi yang nyatanya sangat berperan dalam membantu dunia usaha dalam upaya meningkatkan perekonomian nasional.

konflik aceh dan penyelesaian nya

1. Konflik Indonesia

Di Indonesia, di dalam masyarakat di seluruh Kepulauan Nusantara yang
dikatakan "berbhineka tunggal ika", namun yang kenyataannya heterogin,
sekarang ini terdapat berbagai konflik atau kontradiksi atau pertentangan
(seterusnya saya pakai terminalogi "konf lik" saja). Konflik itu ada yang
tajam, ada yang tidak tajam. Ada yang kompleks atau rumit, ada pula yang
sederhana. Ada yang mudah untuk diselesaikan, ada yang sangat sulit dicari
sumbernya, sehingga memerlukan pemikiran yang arif-bijaksana untuk menanga
ninya.

Kita akui atau tidak, konflik itu sudah jadi pampangan di depan kasat mata
kita. Yang soal, konflik apa saja? Konflik antara apa saja? Konflik antara
siapa saja? Konflik macam mana saja? Dasar fundamental konflik itu apa?
Konflik pokok dan segi pokok kon flik apa? Cara mengurus, mengatasi dan
menyelesaikan konflik itu bagaimana?

Macam-macam konflik

Di dalam bingkai yang disebut "Negara Kesatuan Republik Indonesia"
terdapat pelbagai macam konflik. Konflik antara pusat dengan daerah.
Konflik antara permerintah pusat dengan daerah di luar Jawa. Konflik
antara pemerintah dengan rakyat. Konflik antara go longan berkuasa dengan
yang dikuasai. Konflik antara partai berkuasa dengan partai yang tidak
berkuasa. Konflik antara golongan eksekutif dengan golongan legislatif.
Konflik antar etnis atau yang disebut "suku bangsa". Konflik antara kaum
buruh dengan maj ikan. Konflik antara modal asing dengan modal dalam
negeri. Konflik antara kaum tani dengan tuan tanah. Konflik antara kaum
nelayan dengan juragan atau pemilik perahu atau kapal penangkap ikan.
Konflik antara pedagang kaki lima dengan petugas "penertiban"
pasar. Konflik antara orang kaya dengan orang miskin. Konflik antara
polisi dengan tentara. Konflik antara Angkatan Darat dengan Angkatan Laut
dan Angkatan Udara. Konflik antara kaum konservatif dengan golongan
progresif. Konflik antara yang mau membang un demokrasi dan reformasi
dengan yang menghambat dan menentangnya. Dan masih terdapat aneka rupa
konflik lainnya di dalam masyarakat manusia dan alam Nusantara, yang dapat
dirinci satu persatu.

Dasar konflik

Semua konflik itu ada karena ada dasar sosialnya. Dasar utamanya adalah
ekonomi. Ekonomi merupakan dasar fundamental konflik-konflik itu. Atas
dasar fundamental itu muncul ke permukaan konflik politik, konflik hukum,
konflik sosial, konflik budaya, konfli k etnis, dan sebagainya.

Konflik antara pemerintah pusat dengan daerah secara politik, ekonomi,
hukum, sosial, budaya adalah konflik antara sentralisasi dengan
desentralisasi. Tetapi dasarnya adalah konflik ekonomi. Karena daerah
tidak punya hak menentukan di bidang ekonomi, maka
menimbulkan berbagai konflik lainnya. Kekuatan ekonomi menentukan
segalanya. Kedudukan pusat sebagai majikan dan daerah sebagai kuli atau
bahkan hamba sahaya saja. Tanpa mengangkangi secara rakus sumber-sumber
daerah, pusat tidak punya sumsum dalam tula ngnya dan tak punya zat
perekat sendi-sendi tubuhnya.

Konflik pokok dan segi pokok konflik

Konflik pokok dalam kawasan Indonesia sekarang ini adalah antara
Pemerintah Jakarta dengan daerah. Yang dimaksud dengan daerah meliputi
rakyat, etnis dan pemerintah di daerah. Kekuasaan pusat atau Jakarta
sangat kuat mencengkeram daerah. Kekuatan utama p emerintah pusat ada pada
militer, kaum modal, kapitalis birokrat, kaum oligarkis. Walaupun rezim
militer telah ditumbangkan oleh rakyat, tetapi militer (khususnya Angkatan
Darat) masih mendominasi kekuasaan rezim Jakarta. Kedominasiannya tidak
boleh diuku r hanya dari kwantitas atau jumlah orangnya yang menjadi
menteri, anggota parlemen dan pejabat dwifungsi mulai dari puncak
kekuasaan hingga ke basis (pedesaan). Melainkan harus dilihat juga campur
tangan militer (secara terang-terangan atau terselubung) d i bidang
ekonomi. Harus dilihat pula pada kwalitas kekuasaan itu sendiri. Apakah
kekuasaan di Indonesia sudah demokratis dan reformis? Apakah hukum sudah
berjalan dengan menghamba kepada rakyat kebanyakan? Apakah militer sudah
menjadi pengayom masyarakat ? Semua pertanyaan ini dengan kukuh
menyediakan jawaban: belum. Militer merupakan segi pokok yang menghambat
pembinaan demokrasi dan reformasi yang menyeluruh. Militer yang telah
menyusup ke dalam berbagai partai politik, menongkrongi berbagai jabatan
pem erintahan sipil, menjadi kapitalis birokrat, mitra atau centeng kaum
oligarkis merupakan penghadang terhadap tegaknya hukum yang memihak kepada
rakyat. Tegaknya hukum seperti itu sekaligus ancaman untuk menertibkan
militer itu sendiri. Berarti militer ti dak lagi mendominasi kekuasaan dan
tidak lagi menjadi segi pokok sebagai penentu kwalitas kekuasaan.

INPRES Nomor 4 Tahun 2001 dari Presiden Abdurrahman Wahid secara hakiki
menunjukkan otak dan kepentingan pembimbingnya adalah para jenderal
Angkatan Darat. Rentetan pertemuan petinggi TNI terutama Angkatan Darat
sebelum keluar Inpres itu merupakan pertand anya. Persiapan latihan
militer antigerilya selama tiga bulan sudah dilakukan sebelumnya. Begitu
pula pernyataan-pernyataan bersifat militerisme dan haus darah yang
mengancam Aceh dan Papua Barat dari Menhankam yang mantan rektor perguruan
tinggi Islam,
jenderal-jenderal pemegang komando Angkatan Darat serta pasukannya
seperti Kostrad, Kopassus semuanya menunjukkan hakekat kekuasaan RI masih
didominasi militer.

Jelas, kekuasaan pusat atau Jakarta sangat kuat dan bersifat menentukan
atas daerah. Dengan demikian kekuasaan pusat merupakan segi pokok dari
konflik antara pusat dengan daerah. Sifat konflik itu sudah berkwalitas
permusuhan, yang menjadikan pemerintah J akarta sebagai sasaran perlawanan
daerah bahkan sebagian daerah sudah menjadikannya sebagai musuh dan
menempuh jalan untuk memisahkan diri dari RI. Inpres Nomor 4 Tahun 2001
merupakan sarana rezim Jakarta dalam menyelesaikan konflik secara
antagonisme a tau secara menghancurkan lawan, bukan secara damai.

Menajam atau menjadi tumpul konflik pokok itu sangat tergantung pada cara
pengurusan atau cara penyelesaiannya. Karena segi pokok konflik adalah
pemerintah pusat atau Jakarta, maka tindakan pemerintah Jakartalah yang
menjadi penentu hukum perkembangan ko nflik itu - akan menjadi tidak tajam
dan mereda atau sebaliknya menjadi tajam. Perbedaan yang tidak tajam dapat
berkembang secara kwantitas sehingga mencapai satu kwalitas yang tajam,
kalau tidak ada kebijakan penyelesaian konflik secara tepat dari semula .
Hilang sama sekali konflik itu tidak mungkin. Sebab pusat dan daerah
sebagai satu kesatuan materi dalam bentuk sebuah negara, merupakan sebuah
kesatuan dari dua segi yang bertentangan. Biar bagaimanapun demokratisnya
sebuah kekuasaan pusat dari satu neg ara, perbedaan-perbedaan dan
ketidakpuasan tertentu tetap ada - baik pusat terhadap daerah maupun
sebaliknya, daerah terhadap pusat. Di negeri-negeri paling demokratis
seperti Swedia, Denmrak, Norwegia konflik antara pusat dengan daerah bukan
tak ada, tet api tidak sampai menajam, karena diselesaikan secara
demokratis dan militer tinggal di tangsi dengan tugas utama membela negara
dari ancaman asing. Inpres Nomor 4 Tahun 2001 sebagai payung hukum operasi
militer resikonya besar dan merugikan rezim Jakarta sendiri.

2. Konflik Aceh

Kautsar, 24, seorang pemuda dan aktivis SIRA (Sentral Informasi Referendum
Aceh), dalam sebuah wawancara dengan KONTRAS mengatakan: Konflik Aceh
bukan konflik etnis antara etnis Jawa atau lainnya di Indonesia. Bukan
konflik agama. Di Aceh terjadi konflik nasional. Konflik nasional Aceh
yang di dalamnya terdiri dari kaum kelas menengah dan bawah bersatu
menentang penindasan yang dilakukan oleh Republik Indonesia. Konflik Aceh
adalah konflik rakyat dengan Indonesia.(KONTRAS No.123 Tahun IV 7 - 13
Februari 2 001).

Saya fikir konflik itu harus ditegaskan sebagai konflik antara rakyat Aceh
dengan penguasa Indonesia. Yang kita sebut rakyat Aceh sekarang ini adalah
semua penduduk Aceh yang kepentingannya dirugikan oleh pemerintah pusat
RI, yang mempunyai perasaan tidak
puas kepada pemerintah RI, yang merasa diperlakukan tidak adil oleh
pemerintah RI, yang menunjukkan sikap menentang ketidakadilan pemerintah
RI, yang mengajukan tuntutan kepada pemerintah RI dalam masalah-masalah
keadilan politik, ekonomi, hukum, sosial,
budaya, pendidikan, kebebasan berorganisasi, kebebasan menyatakan
pendapat, kebebasan berapat dalam jumlah kecil dan besar, kebebasan turun
ke jalan melakukan unjuk rasa secara dapai.

Rakyat Aceh, penduduk Aceh - tani, buruh, nelayan, pedagang, miskin kota,
kaum cendekiawan, ulama, kaum santri, pengusaha, pegawai pemerintahan
(sipil dan nonsipil) , kaum pendatang - berkonflik dengan pemerintah pusat
RI. Hanya segelintir orang Aceh yang
betul-betul secara jiwa raganya menjadi alat jinak pemerintah RI,
menindas dan memperlakukan rakyat Aceh secara sewenang-wenang, itulah yang
dapat dikategorikan sebagai musuh rakyat. Namun, kepada mereka juga harus
diperlakukan secara hukum yang adil da n berbeda-beda. Ini merupakan
syarat yang memungkinkan mempersatukan seluruh bangsa Aceh dalam front
perjuangan yang luas. Demi menggalang front itu untuk menghadapi musuh
bersama, maka konflik yang tidak pokok seperti antara kaum buruh dengan
majikan, h arus dapat dikebawahkan.

Pada bulan Maret yang lalu, kaum buruh pengangkutan di Aceh telah
melancarkan mogok menentang pemerasan oleh TNI/Polri terhadap para supir.
Pemilik kendaraan bermotor, majikan para para supir memihak kepada buruh
pengangkutan, karena kepentingannya sama,
sama-sama dirugikan oleh aparat RI. Aksi ekonomi ini punya arti politik
sebagai bagian dari perlawanan terhadap aparat RI sekaligus bagian dari
perjuangan nasional Aceh menentang kekuatan RI.

Segi pokok konflik itu adalah pemerintah Jakarta. Selama ini pemerintah
Jakarta tidak mau mendalami sebab pokok konflik itu. Mereka hanya
menjalankan kemauannya sendiri menurut kehendak dan falsafah feodalisme
Jawa, ambisi neo-imperium Mojopahit. Sebuah kekuasaan feodal, otoriter dan
militerisme tidak mau peduli akan suara dan tuntutan adil rakyat yang
dikuasainya. Tidak ada hati nurani jujur dan ilmiah untuk mempelajari,
meriset dan menghimpun pendapat massa rakyat Aceh, agar mereka tahu
sebab-musabab timbul perlawanan rakyat Aceh terhadap rezim Jakarta. Tidak
mereka cari akar masalah. Sebagai contoh mereka mendeklarasikan
pelaksanaan syariah Islam. Padahal bukan itu penyebab konflik pokok.
Teungku Daud Beureu_h sudah pernah merinci dengan baik syaria h Islam.
Kandungannya bukan hanya soal agama, melainkan juga politik, ekonomi,
sosial, budaya, adat-istiadat.

Rezim RI memberi berbagai janji, tetapi tidak ditepatinya. RUU NAD
(Rencana Undang-undang Nanggroe Aceh Darussalam) yang diserahkan oleh
Prof. Dr. Syamsuddin Mahmud kepada parlemen RI ketika beliau masih
menjabat Gubernur Aceh, sampai sekarang tak tentu j untrungannya. Soal
bagi hasil pendapatan minyak dan gas di Aceh, tak dilaksanakan Jakarta.
Tuntutan Referendum yang demokratis, malah dituduh oleh TNI/Polri sebagai
aksi makar. Aktivis SIRA ditangkap, diculik dan dibunuh secara gelap.
Koordinatornya, Muh ammad Nazar ditangkap dan dihukum. Sebaliknya,
pelanggaran HAM yang dilakukan TNI/Ponri dibiarkan terus tanpa diadili dan
dihukum. Jenderal-jenderal TNI pengendali pelanggaran HAM tak diutik-utik.
Tidak ada usaha sistematis, tekun dan ilmiah dari pihak RI
untuk menyelesaikan konflik Aceh secara demokratis dan damai, kecuali
dengan kekerasan senjata. Dialog yang telah berjalan dengan didampingi
mediator internasional (Henry Dunant Centre), bukan ditingkatkan dengan
menyertakan wakil-wakil rakyat Aceh yang bulat bersama wakil ASNLF yang
dibentuk oleh Hasan di Tiro, malah pemerintah RI mengeluarkan dekrit yang
disebut INPRES Nomor 4 Tahun 2001 sebagai payung pelindung puluhan ribu
pasukan TNI (AD, AL, AU) dari berbagai jenis grup tempur dengan tugas
melakuk an operasi gabungan untuk menghancurkan Aceh. Keputusan yang
sangat militerisme itu, akan menghancurkan Aceh seperti menghancurkan
secara menyeluruh dan melakukan pembunuhan massal di Timor Timur pada masa
menjelang pelaksanaan referendum untuk merdeka .

Tindakan rezim Jakarta itu merupakan cara penyelesaian konflik Aceh secara
antagonisme. Berarti penghancuran lawan secara nonhumanisme, secara
nondemokratis dan secara fasisme. Dengan begitu sudah jelas, rakyat Aceh
tidak lagi termasuk dalam perlindungan hukum RI. Ini pertanda Pancasila
hanya jadi bahan bualan untuk mempersolek diri seolah-olah rezim Jakarta
serta TNI/Polri-nya berjiwa manusia. Tindakan rezim Jakarta itu juga
merupakan pengabsahan kepada bangsa Aceh sebagai nasion di luar NKRI.
Dengan In pres Nomor 4 Tahun 2001 itu, pemerintah RI telah menabalkan
dirinya sebagai musuh rakyat Aceh. Berarti konflik Aceh dengan pemerintah
RI merupakan konflik nasional, konflik antara bangsa Aceh dengan rezim
Jakarta.

Arah bagi Aceh

Menghadapi keadaan yang diciptakan oleh rezim Jakarta atas Aceh, maka
rakyat Aceh terpanggil untuk bersatu padu menghadapinya. Dengan persatuan,
GAM-AGAM dan seluruh komponen masyarakat Aceh, dapat kiranya bangsa Aceh
membuat suatu program strategis dan t aktis bersama untuk menghadapi
keputusan brutal RI atas Aceh. Dengan menyisihkan perbedaan yang dapat
merintangi tujuan strategis bagi penentuan nasib diri sendiri , bangsa
Aceh maju bersama-sama dalam satu front yang kukuh. Bersama-sama
mengadakan ber bagai aksi di Aceh dan di luar Aceh menentang operasi
militer RI. Bersama-sama memperluas opini umum dunia tentang kejahatan
TNI/Polri atas rakyat Aceh. Menghimpun setiakawan rakyat internasional
untuk Aceh. Menghimbau PBB agar mengirimkan ke Aceh penel iti dan
pengumpul fakta pelanggaran HAM oleh TNI/Polri. Seluruh komponen Aceh
termasuk anggota DPRD dan pejabat eksekutif tidak seharusnya kendor
mengajukan tuntutan adil dan obyektif rakyat Aceh di bidang politik,
ekonomi, hukum, sosial kepada pemerintah
RI. Menuntut penyelesaian konflik Aceh secara demokratis dan damai
melalui dialog. Referendum Aceh merupakan tuntutan demokratis rakyat Aceh
dan sebagai hak suatu bangsa dalam perjuangan menentukan nasibnya dan masa
depan negerinya.

sumber : http://www.hamline.edu/apakabar/basisdata/2001/05/04/0001.html

transparansi penyelesaian kasusu poso

Wakil Presiden (Wapres) Jusuf Kalla kembali “turun gunung” untuk mengatasi konflik berdarah berkepanjangan yang bergolak di bumi Poso dan Palu, Sulawesi Tengah. Tadi malam di Palu, Kalla kembali menjadi mediator bagi kelompok-kelompok yang bertikai, yang diwakili kelompok Islam dan Kristen.
Rombongan Kalla tiba di Palu sekitar pukul 19.00 Wita (sekitar pukul 18.00 WIB). Ikut dalam rombongan itu Menko Polhukam Widodo A.S, Kapolri Jenderal Pol Sutanto dan Kepala BIN Syamsir Siregar. (Indopos, 30 Oktober 2006)

Pusat Laboratorium Forensik Markas Besar Kepolisian RI menyatakan telah mendapatkan barang bukti yang terkait dengan bentrokan yang terjadi di pos polisi Tanah Runtuh, Kecamatan Poso Kota, Ahad pekan silam.

Peta konflik di Poso mempunyai perbedaan yang jauh dengan di daerah lain, Aceh misalnya. Oleh karena itu, penyelesaiannya pun harus dilakukan berbeda karena latar belakang konfliknya pun berbeda. Latar belakang konflik di Aceh bisa cepat diketahui, sehingga pemerintah beserta aparat terkait dengan mudah menyelesaikan konflik antara GAM dan Pemerintah RI.

Namun, untuk kasus Poso, pihak aparat (Kepolisian) masih belum bisa mengungkapkan penyebab atau faktor utama timbulnya konflik yang berkepanjangan. Terdapat beberapa asumsi atas konflik tersebut: konflik horizontal antar-agama; konflik vertikal antara pemerintah dengan kelompok yang ingin memisahkan diri dari negara kesatuan Republik Indonesia; konflik internal antarsesama pemeluk agama terkait dengan pandangan tertentu; konflik yang berkaitan dengan motif ekonomi di Sulawesi Tengah, yang diketahui memiliki kandungan tambang yang kaya; atau mungkin ekses dari konflik intern Aparat TNI dan Polri?

Semua asumsi dari berbagai kalangan masyarakat Indonesia mengenai penyebab konflik di Poso terus bergulir. Kalau aparat kepolisian belum mengumumkan secara resmi (tegas) penyebab utama dari konflik tersebut, dikhawatirkan akan semakin memperparah konflik bahkan bisa saja konflik tersebut meluas. Apalagi saat ini mayoritas masyarakat Indonesia lebih banyak beranggapan bahwa konflik di Poso adalah konflik agama.

Kalau pemerintah, lewat aparat kepolisian, BIN, dan TNI tidak cepat mempublikasikan penyebab utama konflik kepada masyarakat Indonesia, maka dikhawatirkan bisa memancing emosi masyarakat di daerah lain untuk melibatkan diri sebagai bentuk solidaritas agama misalnya.

Ada dua kemungkinan kenapa Pemerintah hingga saat ini masih belum mau mempublikasikan penyebab utama konflik Poso. Pertama, Pemerintah memang belum berhasil menemukan penyebab utama dari konflik Poso. Kedua, pemerintah sudah menemukan penyebabnya tapi karena pertimbangan lain Pemerintah tidak mempublikasikan ke publik.
Namun, terlepas dari dua kemungkinan tersebut, kita berharap pemerintah bersikap adil dan transparan dalam menyelesaikan konflik di Poso.(CMM/Muhajir Arif Rahmani)

sumber : http://www.cmm.or.id/cmm-ind_more.php?id=2990_0_3_2450_M