Rabu, 13 Januari 2010

arti KTT bilateral RI - Malaysia

KONFERENSI Tingkat Tinggi (KTT) bilateral antara Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan PM Malaysia Abdullah Ahmad Badawi di Bukit Tinggi, Sumatra Barat, 12-13 Januari 2006, punya arti strategis dalam upaya memaksimalkan penanganan penyelesaian berbagai masalah hubungan RI-Malaysia demi terbangunnya hubungan bilateral yang lebih bersahabat, kuat (tidak lagi labil), dan produktif di segala bidang.

Ini tercermin dengan padatnya agenda pembicaraan kedua pemimpin, yang meliputi hampir semua lini kehidupan, mulai dari sosial ekonomi, politik dan keamanan, sampai budaya dan lingkungan hidup.

Hal itu wajar, mengingat betapa kompleks dan serius permasalahan yang muncul dalam jalinan hubungan dua negeri serumpun di bidang-bidang tersebut. Di bidang sosial ekonomi, selain ada masalah klasik puluhan ribu tenaga kerja Indonesia (TKI) ilegal, juga kesenjangan sosial ekonomi yang teramat mencolok antara penduduk kedua negara di kawasan perbatasan sebagaimana terlihat di Desa Aji Kuning, Pulau Sebatik, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur (Kaltim).

Di bidang politik telah mengadang isu sengketa wilayah perbatasan, semisal Blok Ambalat, dengan segala tetekbengeknya. Di bidang keamanan menyembul masalah terorisme lintas nasional seperti yang diperlihatkan Dr Azahari (almarhum) dan Noordin M Top yang berkewarganegaraan Malaysia.

Di bidang lingkungan hidup muncul masalah perusakan hutan dengan segala efek samping yang ditimbulkannya, serta penyelundupan kayu hasil illegal logging dari Indonesia ke Malaysia di mana sebagian pelakunya warga negara negeri jiran itu.

Penanganan bagi upaya penyelesaian semua persoalan tersebut jelas kelewat penting, sangat dibutuhkan kedua negara. Namun, pelaksanaannya perlu dengan membuat skala prioritas: isu-isu apa saja yang harus diselesaikan sesegera mungkin (dalam jangka pendek), jangka menengah, dan jangka panjang biar tidak terjadi tumpang tindih dan jelas target pencapaian penyelesaiannya.

Sengketa wilayah Blok Ambalat serta wilayah-wilayah perbatasan lain yang berpotensi disengketakan, adalah satu dari beberapa isu panas yang upaya penyelesaiannya harus mendapat prioritas (dilakukan secepat mungkin), tak bisa ditawar. Ini penting terutama bagi RI guna, misalnya, menjamin kenyamanan Unocal East Ambalat Ltd yang tengah melakukan eksplorasi minyak di wilayah perairan di Laut Sulawesi itu.

Terkait upaya penyelesaian Ambalat, mestinya Pemerintah Malaysia mau menyadari kekeliruannya lantaran mengklaim Ambalat sebagai teritorialnya.

Bagaimanapun, klaim Kuala Lumpur atas Ambalat tidak berdasar. Peta Wilayah 1979 yang dijadikan dasar klaimnya sangatlah tidak fair dan tidak lazim, karena garis-garis batas di dalam peta itu ditarik dengan patokan-patokan yang cuma diketahui sepihak oleh Malaysia. Padahal, dalam pergaulan internasional, lazimnya sebuah negara memberitahukan titik-titik dasar untuk menentukan batas-batas wilayahnya supaya negara-negara tetangga memahaminya.

Melihat bagaimana Malaysia dengan Peta Tahun 1979 menarik garis batas di Laut Sulawesi, negara itu bukan saja mengklaim wilayah RI seluas 8000 kilometer persegi, tetapi juga wilayah Filipina seluas 17.000 kilometer persegi.

Lagi pula, dengan dikeluarkannya Konvensi Hukum Laut PBB (United Nations Convention on the Law of the Sea / UNCLOS) tahun 1982, Peta Wilayah Malaysia 1979 sebetulnya tidak dapat diberlakukan karena tidak sesuai dengan konvensi tersebut.

Jadi, tepat sekiranya Kuala Lumpur menyadari kekeliruannya itu. Syukur, saat ber-KTT dengan Presiden Yudhoyono di Bukit Tinggi, PM Badawi dengan jiwa besar mau menyampaikan permohonan maaf atas kekeliruannya tadi. Sikap demikian selain mencerminkan ke-gentelman - annya selaku pemimpin negara, juga sangat terpuji. Masalahnya, apakah PM Badawi tipe pemimpin berjiwa besar seperti itu ataukah bukan?

Sementara itu, wilayah-wilayah perbatasan lain yang berpotensi disengketakan juga mendesak diupayakan langkah preventifnya agar tidak meledak menjadi dispute territory (wilayah sengketa). Keberadaannya perlu ditata, diatur, guna memastikan bahwa wilayah itu masuk dalam kedaulatan RI ataukah yarisdiksi Malaysia.

Cukup banyak wilayah (pulau) di kawasan perbatasan RI-Malaysia yang berpotensi menjadi dispute territory . Sekadar contoh nyata adalah Pulau Berhala di Sumatra Utara; Pulau Pelampong, Batu Berhanti dan Nongsa di Riau; serta Pulau Gosong Makassar di Kalimantan Timur.

Berdasarkan Peta Wilayah RI di Departemen Kelautan dan Perikanan, pulau-pulau tersebut berada sangat dekat - bahkan tepat - di garis batas Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) maupun batas laut teritorial yang rawan konflik/sengketa.

Di antara pulau tersebut ada yang tidak berpenghuni. Jika tidak segera ditata guna memperjelas keberadaannya tidak mustahil akan terjadi silent occupation (pencaplokan diam-diam) wilayah itu oleh Malaysia. Secara hukum internasional, tindakan okupasi dapat/boleh dilakukan oleh sebuah negara terhadap suatu wilayah tak bertuan/berpenghuni (terra nullius).

Di luar itu, wilayah perbatasan RI-Malaysia - khususnya di darat - pada dasarnya rentan menimbulkan sengketa. Pasalnya, perbatasan darat kedua negara terutama di kawasan hutan tidak terdapat tanda batas fisik yang spesifik dan jelas, semisal pagar atau tugu perbatasan. Karena itu, keberadaannya juga mesti ditata ulang berdasarkan kesepakatan kedua negara.

Di Kalimantan, wilayah perbatasan darat membentang sepanjang 1.950 kilometer. Di Kaltim yang panjang perbatasannya mencapai 1.038 kilometer, berada di tiga kabupaten (Nunukan, Malinau dan Kutai Barat), hanya terdapat 700 patok perbatasan. Patok perbatasan di tengah hutan maupun perbukitan terjal tidak bisa dilihat dari radius dekat sekalipun. Untuk mengetahuinya harus bersusah-payah mencarinya di tengah hutan ataupun perbukitan.

Lebih parah lagi, penjagaan wilayah perbatasan Kalimantan dengan Sabah dan Sarawak itu terlampau longgar. Sepanjang perbatasan sekitar 1.950 kilometer itu di pihak RI hanya tersedia 30 pos penjagaan dengan cuma menerjunkan satu brigade prajurit TNI Angkatan Darat (AD). Itu berarti, tiap pos dengan hanya 30-40 tentara harus menjaga wilayah perbatasan sepanjang 65 kilometer.

Kondisi buruk ini diperparah dengan minimnya peralatan komunikasi yang tersedia di pos-pos penjagaan. Di 30 pos penjagaan hanya tersedia enam global positioning system (GPS) serta tidak ada telepon satelit untuk berhubungan dengan jalur komando.

Sementara di pihak Malaysia mengerahkan petugas pertahanan sebanyak satu divisi, terbagi dalam tiga brigade, di sepanjang wilayah perbatasan Sabah/Sarawak-Kalimantan. Mereka dilengkapi dengan sarana telekomunikasi dan jaminan pemenuhan kebutuhan hidup yang lebih baik ketimbang prajurit TNI. Tetapi, itupun belum juga memadai untuk menutup celah-celah yang bisa dilalui untuk menyelundupkan barang-barang maupun manusia secara ilegal baik dari maupun ke Malaysia.

Jadi, sekiranya upaya penyelesaian masalah Ambalat lewat jalur diplomasi (KTT bilateral SBY-Badawi) efektif, dan upaya pencegahan wilayah-wilayah perbatasan berpotensi sengketa juga efektif; berarti modal politik bagi penciptaan bangunan hubungan RI-Malaysia yang lebih bersahabat, kuat dan produktif di berbagai bidang terpenuhi. Apalagi kalau masalah krusial lain semisal keberadaan sekitar 30 ribu TKI ilegal dan penyelundupan besar-besaran kayu hasil illegal logging dari Indonesia ke Malaysia juga bisa diatasi dengan baik. Niscaya, semakin besar dan kuat lah modal politik itu.

Jika memang begitu halnya, sangat lah objektif sekiranya kemudian muncul gagasan perlunya penjagaan bersama kawasan perbatasan Kalimantan-Sabah/Sarawak oleh prajurit TNI dan pasukan Diraja Malaysia.

Atau, ide pentingnya pembangunan bersama kawasan perbatasan Kalimantan-Sabah/Sarawak dengan basis pemberdayaan pertanian, perkebunan, peternakan dan perniagaan/perdagangan demi terciptanya pertumbuhan ekonomi bersama yang setara supaya tidak terjadi kesenjangan mencolok di antara penduduk kedua negara di kawasan perbatasan. Dalam pembicaraannya di KTT Bukit Tinggi, Presiden SBY dan PM Badawi agaknya perlu menyinggung pentingnya kedua gagasan itu untuk diadopsi sekaligus direalisasi menjadi tindakan nyata bilamana kedua pemimpin itu betul-betul ingin hubungan RI-Malaysia yang pada dasarnya memang saling membutuhkan itu berlangsung lebih bersahabat, kuat dan produktif dengan prinsip saling menguntungkan di kemudian hari.

sumber : http://www.suaramerdeka.com/harian/0601/13/opi03.htm

Tidak ada komentar:

Posting Komentar