Kamis, 14 Januari 2010

mutu dan kwalitas pendidikan di papua

Pendidikan pada dasarnya diselenggarakan dalam rangka membebaskan manusia dari berbagai persolan yang melingkupinya dan mempertemukan manusia dengan kodrat sejatinya, yakni kemanusiaan. Paulo Freire melalui Yunus, (2002) mengatakan, pendidikan adalah salah satu upaya pengembalian fungsi manusia agar terhindar dari berbagai keterbelakangan, maka pendidikan harus menjadikan alat pembebasan. Maka itu, Mutu dan kualitas pendidikan dapat dilihat dari sejauh mana suatu bangsa membangun manusianya untuk membebaskan dirinya dan lingkunganya.

Dalam rangka membebaskan manusia dari berbagai keterbelakangan itu bangsa kita terus dan selalu mencari format pendidikan yang sesuai untuk membebaskan manusia Indonesia dari berbagai keterbelakangan. Pencarian format pendidikan itu terlihat dengan perubahan kurikulum setiap selang sepuluh tahun. Namun kurikulum yang selalu dimunculkan itu justru menambah persoalan pendidikan kita, apalagi berbicara tentang mutu dan Profesionalisme masalah Pendidikan Papua, karena kurang tersosialisasi dan para pelaku pendidikan dilapangan enggan menerjemahkan serta merealisasaikan konsep-konsep tersebut dalam pembelajaran di sekolah. Dalam hal ini di tanah Papua , misalnya selama ini konsep-konsep kurikulum kurang tersosialisasikan dengan baik kepada praktisi pendidikan (guru). Selain itu guru sebagai praktisi di lapangan tidak pernah dilibatkan baik secara langsung maupun tidak langsung untuk mengetahui konsep-konsep tersebut. Kalaupun dilibatkan melalui kegiatan seminar, pelatihan atau lokakarjarya sekalipun hanya berlalu sebagai kewajiban. Bukan suatu kebutuhan.

Bagaimana mungkin sebuah kurikulum berhasil dan dapat mewujudkan peningkatan mutu dan kwalitas pendidikan dan pendidik profesionalyang berhasil, kalau toh kurikulum itu tidak menjiwai seorang guru. Misalnya, ketika secara konseptual kurikulum Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA) diterapkan dengan harapan meningkatkan keaktifan siswa secara fisik, mental, intelektual dan emosional. Dalam penerapan CBSA itu guru menjadi kambing hitam kegagalan kurikulum tersebut. Sementara itu, banyak pihak menilai kurang adanya sosialisasi mengakibatkan penerjemahan yang kurang baik di lapangan oleh praktisi dilapangan (guru). Persoalan pendidikan di Papua tidak hanya itu, kebanyakan guru (tamatan tahun 70-an) sampai saat ini sulit melepaskan diri dari model pembelajaran yang mereka terima dari guru mereka di bangku Sekolah Guru Bawahan (SGB) dan Sekolah Pendidikan Guru (SPG).

Penerapan kurikulum 2004 yang dikenal dengan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) di Papua, dikhawatirkan akan mengalami nasif yang sama dengan kurikulum CBSA dan kurikulum lainya. Anita Lie (2005) mengatakan, penggunaan berbagai jargon dalam kurikulum nasional misalnya, siswa aktif, kompetensi, kewarganegaraan dan sebagainya tidak dilandasi dengan paradigma yang mantap dan relevan dengan konteks budaya dan lingkungan yang dapat membentuk siswa/-siswi dan mahasiswa-mahasiswi papua pada suatu muth dan profesionalnya setempat. Selain itu, selama kurikulum berlum tersosialisasi atau diterjemahkan dengan baik oleh guru dalam pembelajaran, maka mutu dan kualitas pendidikan di suatu daerah (Papua) tetap akan terpuruk.

Keterpurukan mutu dan kualitas dan kuantitas pendidikan di Papua yang tak pernah terselesaikan ini tidak terlepas dari mutu tenaga pengajar yang ada. Selain itu, persoalan geografis, fasilitas, kesejahteraan guru, kesesuaikan kurikulum dengan budaya dan lingkungan hidup Papua, penanganan yang kurang mapang atau kurang becus dari pemerintah dan keseriusan pemerintah daerah dan banyak persoalan lainya menjadi masalah klasik yang tak pernah terselesaikan.

Faktor yang satu mempengaruhi factor yang lain. Misalnya, apabila fasilitasnya memadai, apakah juga akan didukung oleh mutu dan profesionalisme guru. Kalau mutu dan profesionalisme guru memadai, bagaimana dengan kesejahteraan gurunya. Karena tentu saja, fasilitas mutu dan seprofesional apapun seorang guru, kalau kesejahteraan belum memadai tentu saja dia akan mencari penghasilan tambahan. Dia akan pergi meninggalkan tugas utamanya, sehingga di sekolah hanya catat dan ceramah. Dalam keadaan seperti ini tahap perencanaan dan evaluasi tidak pernah terjadi di sekolah sehingga apa yang harus diajarkan dan hasilnya bagaimana tidak pernah terlihat. Itulah mata rantai….ketidak mampuan mencetak Sumber Daya Manusia papua yang bermutu dan berkualiatas dan terjadi keterpurukan pendidikan di Papua sampai saat ini.

Secara khusus kompetensi (Mutu dan Profesionalisme) seorang guru di tanah Papua sungguh juga menjadi suatu factor utama ketertinggalan pendidikan. Selama ini, pihak-pihak yang peduli dengan pendidikan Papua masih berpikir fasilitas dan tenaga pendidik. Perhatian dan peningkatan kompetensi tenaga pengajar masih belum begitu terlihat. Sebenarnya, tenaga pengajar harus memahami bagaimana merencanakan pembelajaran (model, metode, dan media, Infotaiment), proses pembelajaran dan sampai pada tahap evaluasi adalah hal yang perlu dilakukan seorang guru (pengajar). Karena memang berbicara mengenai peningkatan mutu dan kualitas pendidikan di tanah Papua tidak terlepas dari kompetensi tenaga pengajar. Penanganan pendidikan yang bagus dari pemerintah, fasilitas yang memadai, kesejahteraan guru cukup, serta kurikulum yang berbasis budaya dan lingkungan Papua, nampaknya belum cukup menjawab persoalan mutu dan profesionalisme pendidikan di Papua. Sebenarnya, persoalan utama keterpurukan pendidikan di tanah Papua tidak terlepas dari profesionalisme tenaga pengajar.

Untuk itu, peningkatan kompetensi mutu dan profesionalisme tenaga pengajar merupakan satu aspek penting yang harus juga mendapat bagian dalam penanganan pendidikan di tanah Papua.

Nampaknya memang peningkatan mutu dan profesionalisme tenaga pengajar bukan sekedar isu tetapi benar-benar suatu keharusan yang harus dijawab!. Persoalannya adalah oleh siapa….?, melalui apa…..? dan bagaimana cara atau mekanisme meningkatkan mutu dan profesionalisme tenaga pengajar….? Apakah pemerintah atau lembaga independen atau justru kedua-duanya…?. Dan kalau itu sudah jelas, realitas sosial budaya dan lingkungannya bagaimana….? dan kompetensi seperti apa yang harus ditingkatkan….? Serta Haruskah Selalu disamakan dengan Kurikulum Nasional yang berlatar belakang budaya, adat istiadat, dan etnik suatu bangsa yang berbeda itu dengan yang lainya ….? Layakkah Otonomi khusus Papua mampu menciptakan Suatu Kurikulum Baru yang berbasis budaya local bagi papua….?

sumber : http://www.myheritage.com/FP/newsItem.php?s=28894481&newsID=1&sourceList=home

Tidak ada komentar:

Posting Komentar