Kamis, 14 Januari 2010

konflik indonesia dan malaysia

ejolak moneter pertengahan 1997 menimbulkan kesulitan yang sangat besar terhadap perekonomian nasional terutam kemampuan dunia usaha dalam mengembangkan usahanya, terutama kemampuan dalam rangka untuk memenuhi kewajiban pembayaran mereka kepada para kreditur. Keadaan yang sifatnya berantai dan tidak dapat diselesaikan akan menimbulkan dampak yang lebih luas. Penyelesaian masalah utang haruslah dilakukan secara cepat dan efektif.

Oleh karena, Fv disempurnakan lagi dengan Perpu Nomor 1 Tahun 1998 dan ditetapkan menjadi UU Nomor 4 tahun 1998 yang prinsipnya adalah tambal sulam dari Peraturan Kepailitan (Fv) dan direvisi lagi menjadi UU Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU.

Peraturan terbaru ini mempunyai cakupan yang lebih baik dan luas dari segi norma, ruang lingkup materi, maupun proses penyelesaian utang piutang. Karena adanya perkembangan dan kebutuhan hukum dalam masyarakat sedangkan ketentuan yang selama ini berlaku belum memadai sebagai sarana hukum untuk menyelesaikan masalah utang-utang secara adil, cepat, terbuka dan efektif.

2. Lahirnya UU Arbitrase

Secara hukum perkembangan arbitrase dengan mengacu kepada Aturan Peralihan Pasal II UUD 1945 yang memberikan konswekuensi berlakunya Rv menjadi peraturan arbitrase nasional di awal kemerdekaan. Sedangkan Rv sendiri sudah berlaku sejak satu abad yang lalu.

Baik pada masa Rv dan Aturan Peralihan masih belum Nampak penerapan arbitrase sehingga tidak dapat diajukan data tentang yurisprudensinya. Bahkan pembentuk undang-undang sendiri tampaknya masih belum memiliki visi yang tegas mengenai arbitrase atau ADR.

Pada tanggal 3 Desember 1997 berdiri Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI), akan tetapi tentang arbitrase memerlukan waktu yang lebih lama lagi bagi dunia peradilan umum sendiri karena terbukti bahwa mereka juga menerima pemeriksaan terhadap suatu perkara yang memuat klausul arbitrase yang seharusnya menyatakan tidak berwenang.

Munculnya Keppres Nomor 34 Tahun 1981 yang meratifikasi Konvensi New York 1958 yang inti utamanya adalah putusan arbitrase asing di Indonesia adalah pengakuan dan pelaksanaan. Maka dibentuk Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS) yang berlaku pada tanggal 12 Agustus 1999.

3. Dualisme Pengaturan Penyelesaian Pailit dan Arbitrase di Indonesia

Adanya dualisme penyelesaian sengketa secara litigasi dan non litigasi juga berdampak pada perkara kepailitan, karena sifatnya masih mencakup dalam wilayah hukum dagang dan perdata. Hal ini yang memberikan konflik kewenangan yang sama-sama mengatur mekanisme penyelesaian. Hal inilah yang menjadikan tarik ulur penyelesaiannya dalam ranah hukum arbitrase atau kepailitan.

Hal ini menjadikan dualisme sengketa akan menyulitkan dalam penyelesaiannya, maka perlu segera ada solusi agar tidak berlarut-larut dan demi untuk menciptakan keadilan dan kepastian hukum bagi masyarakat.

sumber : http://gagasanhukum.wordpress.com/2009/12/03/resolusi-konflik-dualisme-hukum-kepailitan-dan-a

Tidak ada komentar:

Posting Komentar